Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mulai dari Mula Bergabung, Ubud, Hingga Teman Baru

3 November 2017   10:51 Diperbarui: 3 November 2017   10:57 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustasi betapa saya senang bersama teman-teman. Dokumentasi pribadi.

Beberapa bulan lalu, saya hadir di Nangkring Kompasiana. Di sebelah saya, duduk seorang perempuan berkerudung yang tampak matang. Sambil menunggu acara, ia menyapa saya dan bercerita perjalanannya dari Bandung. Saya memanggil beliau Bu Maria.Kami mengobrol santai. Ia pun mengajukan pertanyaan, "Sejak kapan saya bergabung di Kompasiana?" Saya jawab, 18 Juni 2010, dan beliau tidak menyangka karena katanya saya baru kelihatan akhir-akhir ini.

Saya ingat betul, saya mendaftar ketika baru pulang dari Jogja, menemui teman-teman seperti Irwan Bajang, Dea Anugrah, Sungging Raga, dan Bernard Batubara. Saya tidur di kosan Rozi Kembara, dan diberi banyak referensi film bagus. Ponsel saya matikan. Saya berangkat 13 Juni dan pulang 17 Juni. Padahal 14 Juni itu adalah tanggal kelahiran pacar saya saat itu (sudah putus, mantan). Dia marah dan menangis setelah saya sampai di Bintaro karena saya melupakannya. 

Pulang dari Jogja itu, saya membeli tiket kereta ekonomi, naik di Lempuyangan, tapi saya ketinggalan kereta. Lalu saya buru-buru ke Stasiun Tugu dan hendak naik kereta yang duduk. Tapi, loket sudah tutup. Kereta datang satu jam lagi. Dalam keadaan bingung harus bagaimana pulang ke Jakarta, seorang bapak tua mendatangi saya, menawarkan tiket. Dia calo. Tapi, dia bilang harganya sama saja dengan harga resmi sehingga saya tertarik membelinya. Saya diantar masuk ke dalam kereta. Duduk nyaman. Ketika saya minta tiketnya, dia bilang nanti petugas akan memberi. Duduk santai saja. 

Kereta berangkat. Tiket tak pernah ada di tangan saya. Saya deg-degan tiap kali ada petugas datang mengecek tiket. Tapi, saya dilewatkan karena dibilang titipan bapak Anu. Aman. Seharusnya saya turun di Senen, tapi bablas sampai Jakarta Kota. Ketika hendak keluar, penjaga bersiap sedia. Say harus menunjukkan tiket keluar, tapi saya tak punya. Saya digiring ke kantor dan DIPALAK! Saya diancam akan dilaporkan ke polisi karena status penumpang ilegal... atau memberi ia uang sebanyak dua kali lipat harga normal. Sungguh, saya tak bisa lupakan itu.

Sesampai di kos, keesokan paginya saya berselancar, dan menemukan Kompasiana. Saya mendaftar karena awalnya pengen curhat soal ini, tapi memalukan rasanya. Saya pun menulis cerpen (mem-posting ulang cerpen saya yang dimuat di koran lebih tepatnya). Dan beberapa bulan setelah itu, saya menulis puisi pedih. Alasannya, saya resmi putus. Begini sajaknya:

di palembang, nda. hanya di palembang,
burung-burung tidak lagi kepingin terbang, udara
dingin menusuk tulang, dan syalmu menanti

aku datang

rindu ini begitu akut, mengalahkan gagak-gagak
di tiang listrik yang khusyuk
menanti kematian

di palembang, nda, jembatan ampera masih tegak
membelah sungai musi yang keruh;
cinta ini selalu penuh, meski terkadang angkuh
tetapi sungguh
tak ada kata-kata dari kesunyian
yang lebih indah dari kenangan perjalananku
denganmu

Setelah itu, saya kerap menulis puisi dan cerpen. Kadang-kadang juga menulis soal sepakbola karena kecintaan saya pada Sriwijaya FC dan Timnas Indonesia. Sesekali menulis hal-hal yang biasa dan umum dibicarakan. Sesekali pula ikut lomba menulis di Kompasiana, tetapi tak pernah menang. Saya tak peduli pada dinamika Kompasianer, toh saya menulis hanya untuk membunuh waktu, dan 2011-2014 September, saya berada di Sumbawa. Saya menulis untuk mengatasi kejenuhan saya sebagai front officer pencairan dana.

Hingga kemudian saya menjadi pemenang cadangan pada sebuah lomba menulis. Hadiahnya workshop di Ubud, menginap di hotel mewah di sana. Namun, tiket PP harus beli sendiri. Saya kemudian ditunjuk menggantikan salah seorang pemenang yang berhalangan hadir. Tentu saja saya mengiyakan. Saat itu saya sedang melanjutkan kuliah di D4 STAN. Saya beli tiket, bikin surat izin nggak masuk kuliah. Siap berangkat. 

Namun, apa daya, sebuah berita menghancurkan mimpi saya ke Ubud. Gunung Rinjani berasap, dan asapnya mengarah ke Bali. Bandara Ngurah Rai ditutup. Rescheduling dilakukan, tapi tetap saja... bandara masih ditutup. Penerbangan saya dibatalkan. Mirisnya, penerbangan setelah saya diberangkatkan (selisih hanya 2 jam). Refund dilakukan, tapi bukan tunai, melainkan akan dikreditkan jika melakukan pembelian tiket selanjutnya. Tapi, tidak pernah ada tiket selanjutnya. Uang tiket saya pun hangus.

Andai Ubud masuk ke dalam satu dari 9 foto ini. Dokumentasi pribadi.
Andai Ubud masuk ke dalam satu dari 9 foto ini. Dokumentasi pribadi.

Padahal Ubud adalah salah satu wilayah yang ada dalam tempat-tempat yang harus saya kunjungi sebelum mati. Sedih rasanya gagal ke Ubud. Saya berusaha menghibur diri sendiri, berkata bahwa memang mulanya saya hanya cadangan, dan itu bukan hak saya. Manusia memang tidak boleh terlalu banyak berharap.

Waktu berlalu. Tiba-tiba satu tulisan saya menjadi viral, isu nasional. Ya, tulisan soal plagiarisme itu. Saya banyak mendapat serangan hebat, bertubi-tubi kecaman masuk ke FB saya pula. Yang lebih lucu dari itu semua adalah saya dibilang bagian dari proxy tertentu. CEO Kompasiana juga menelepon saya, bertanya beberapa hal. Saya bilang saya tak tertarik soal politik. Salah satu alasannya adalah kode etik PNS tidak boleh ngomongin politik.

Selesai lulus D4, saya ditempatkan di Kantor Pusat. Jadinya, saya kadang-kadang applyacara-acara Kompasiana. Saya jadi bertemu dengan beberapa orang. Pertama kali saya datang ketika acara OJK. Saya bertemu dengan Mbak Maria (beda dengan bu Maria). Setelah itu saya diundang gabung ke grup WA Kompasianer Palembang, karena saya asalnya dari Palembang, dan berkenalan dengan dokter Posma, Kak Elly, Mang Due, Ara, dll. Saya juga berkenalan dengan Kompasianer of The Year 2017, Zulfikar, pada acara OJK itu. Kami duduk semeja soalnya. Baru beberapa waktu lalu, Kak Kevin yang ada di Kompasianer Palembang, mengundang saya ke grup WA Kompasianer. Dan saya mengenal nama-nama yang biasanya cuma saya baca tulisannya di Kompasiana.

Saya bukanlah orang yang bisa terbuka dan ramai jika berbicara. Tapi, saya senang punya teman baru. Tidak melulu karena silaturrahim membuka pintu rejeki. Yang lebih penting, adalah menambah wawasan dan ilmu. Saya jadi kenal Pak Arnold dengan tulisan-tulisan ekonominya. Wah, pokoknya!

9 Tahun Kompasiana. 7 1/2 tahun akun Kompasiana saya ada. Kenangan saya berinteraksi dengan teman-teman memang sangat sedikit. Mungkin juga tidak menarik. Tapi, apapun itu, saya senang berada di sini, kecuali jika lagi-lagi webnya mengalami gangguan. Hehe. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun