Beberapa waktu lalu, marak pembicaraan warganet tentang seorang influencer anak yang celotehannya dinilai menuai kontroversi. Tak ayal, ia pun terkena cyberbullying sebagai reaksi atas celotehannya tersebut. Â Selain celotehan anak tersebut, banyak warganet juga menyayangkan cara parenting kedua orang tua anak tersebut karena dinilai terlalu mencari validasi dan perhatian demi popularitas semata. Padahal, sejatinya anak di bawah umur belum memiliki consent tentang penggunaan media sosial. Lalu bagaimana sebenarnya etika penggunaan media sosial untuk fenomena kidsfluencer ini?
Maraknya Fenomena Kidsfluencer di Media Sosial
Fenomena kidsfluencer saat ini semakin marak di era digital, apalagi dengan hadirnya fitur exclusive content dan subscribe di beberapa platform media sosial. Terminologi kidsfluencer sendiri merujuk pada anak berusia di bawah 16 tahun yang menjadi influencer di media sosial. Dengan celotehnya yang jenaka, wajah yang imut nan rupawan, kidsfluencer ini seringkali tampil di konten-konten visual seperti foto dan video yang menceritakan tentang aktivitas mereka sehari-hari, mulai dari bermain, makan, ootd (outfit of the day), hingga melakukan dance challenge atau joget-joget ala tren Tik-tok dan Instagram reels. Pada beberapa anak dengan usia lebih muda (kurang dari 6 tahun), tak jarang penampilan mereka yang lucu mengundang decak kagum dan kegemasan para warganet.
Layaknya influencer dewasa, kidsfluencer juga dilibatkan dalam kegiatan promosi berbagai merek dan produk. Unggahan promosi ini bisa dilakukan melalui akun media sosial mereka sendiri atau akun yang dikelola oleh orang tua atau wali. Sebagai bentuk kompensasi, para kidsfluencer biasanya menerima bayaran, produk gratis, atau endorsement. Mereka bahkan dapat ikut serta dalam kampanye iklan dan memperoleh penghasilan dari penjualan produk yang dipromosikan.
Namun tahukah parents, bahaya apa saja yang mengintai di balik fenomena kidsfluencer ini?
Dampak Negatif Kidsfluencer
Dalam jurnal penelitian berjudul "Fenomena Selebgram Anak: Memahami Motif Orang Tua" (Afdal dan Annisa, 2019), dijelaskan bahwa motif orang tua untuk menjadikan anaknya seorang kidsfluencer dibedakan menjadi dua, yaitu "because motives" dan "in order to motives". Because motives didasarkan pada pengalaman tentang album foto di masa lalu dan gangguan serta keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh para orang tua. Sedangkan in order to motives terkait dengan 3 hal.Â
- Pertama, berkaitan dengan upaya orang tua untuk menjadikan anak mereka dikenal oleh banyak orang.Â
- Kedua, berkaitan dengan sebuah tuntutan untuk berbagi momen perkembangan anak kepada orang lain terutama kepada keluarga yang jauh ataupun teman-teman yang sudah tidak lama ditemui.Â
- Ketiga, sebagai upaya untuk mewujudkan rasa bangga dan bersyukurnya para orang tua atas apa yang mereka miliki saat ini.
Hadirnya motif-motif tersebut secara tidak sadar seringkali mengarahkan aktivitas sharing moment ke fenomena kidsfluencer. Hal ini dapat dipahami mengingat algoritma media sosial bekerja sesuai dengan jumlah likes, comments, dan share. Namun seringkali para orang tua tidak menyadari bahaya yang mengintai di baliknya. Beberapa dampak negatif yang mungkin timbul dari kidsfluencer antara lain:
Munculnya Isu Eksploitasi Anak
Kegiatan kidsfluencer untuk kampanye iklan, promosi produk, dan melakukan endorsement tak ayal menimbulkan isu eksploitasi anak, apalagi jika dilakukan oleh anak berusia di bawah 12 tahun. Hal ini menjadi perhatian karena seringkali peran dan fokus orang tua para kidsfluencer terpecah antara peran sebagai pemilik bisnis yang berwirausaha dan sebagai orang tua (Blum-Ross & Livingstone, 2017 sebagaimana dikutip dalam  Daniel R. Clark dan Alisa B. JnoCharles, 2025). Hal ini diperparah dengan belum adanya regulasi spesifik yang mengatur jam kerja, penghasilan, dan perlindungan digital anak di media sosial.
Timbulnya Tekanan Psikologis
Menurut Dr. Nur Ainy Fardana, M.Si., dilansir dari unair.ac.id, eksposur berlebihan terhadap media sosial seperti halnya fenomena kidsfluencer ini dapat memberikan tekanan psikologis pada anak. Anak-anak yang sering dijadikan bahan konten oleh orang dewasa berisiko mengalami gangguan dalam tumbuh kembangnya, termasuk dalam aspek psikologis dan sosial. Munculnya tuntutan untuk berperilaku tertentu sesuai keinginan orang dewasa dapat berisiko menghambat optimalisasi ekspresi dan daya eksplorasi anak.
Privasi yang Terekspos
Aktivitas kidsfluencer yang intens di media sosial dapat mengekspos privasi mereka baik secara sengaja maupun tidak. Informasi pribadi anak seperti wajah, aktivitas harian, hingga lokasi bisa tersebar luas di internet, sehingga dapat meningkatkan risiko keamanan seperti pencurian identitas, resiko cyberbullying, kejahatan dan pelecehan seksual, hingga eksploitasi oleh pihak tidak bertanggung jawab (Shreya Agarwala, 2025).