Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Ego dan Arogansi Politik Menghancurkan Mimpi Timnas Indonesia

1 Maret 2012   17:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:40 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Bencana sepakbola melanda Indonesia, bagai gelombang tsunami yang menghantam seluruh pantai nusantara. Kekalahan 10-0 dari Bahrain, dan indikasi pengaturan skor yang saat ini sedang diinvestigasi oleh FIFA adalah hal paling memalukan dari segala rekor terburuk sepakbola Indonesia. Meminjam sebuah tajuk berita di republika online, "Indonesia dipermalukan seisi bumi". Benar-benar sebuah tajuk berita yang sangat bombastis. Apakah hanya karena kekalahan 10-0 Timnas Indonesia langsung dicaci oleh seluruh rakyat Indonesia bahkan seluruh bumi? Lantas, siapa yang seharusnya harus bertanggung jawab atas bencana ini?

Kalau disurvei, mungkin hampir 80% responden akan langsung menunjukkan jarinya pada PSSI dibawah komando Djohar Arifin. Banyak pihak yang ingin para pengurus PSSI meniru langkah Presiden Federasi Sepakbola Arab Saudi (SAFF), Pangeran Nawaf Bin Faisal Bin Abdulaziz beserta dewan direksi lainnya yang  langsung mengundurkan diri begitu Arab Saudi dipastikan gagal lolos ke putaran empat kualifikasi PPD 2014. Sampai sebegitu burukkah kinerja PSSI sekarang ini sehingga pantas dijadikan kambing hitam untuk bencana ini?

Ini bukanlah pertama kalinya sepakbola Indonesia mengalami bencana.  Kita masih ingat saat euforia penampilan gemilang tim Garuda Merah-Putih pada Piala AFF 2010 melanda seluruh pecinta bola tanah air. Namun kegembiraan itu harus hangus terbakar arogansi dan politisasi para pengurus sepakbola. Dukungan menggebu penonton yang sebenarnya telah teraniaya oleh buruknya administrasi distribusi tiket, seperti disia-siakan oleh ambisi para politikus di PSSI yang mendompleng kehebatan pasukan ”Garuda”. Tim asuhan Alfred Riedl ini dimobilisasi sowan ke rumah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, kemudian diboyong ke sebuah pondok pesantren yang sungguh membuat persiapan Riedl menjadi berantakan. Tak lupa mereka diguyur bonus 2,5 milyar dan hibah tanah 25 hektar di Jonggol. Padahal perjuangan mereka belum mencapai puncaknya. Dan diakhir pertemuan diselipkan kata-kata manis bahwa performa gemilang Timnas adalah hasil bantuan Partai Golkar dan keluarga Bakrie pada khususnya.

Apa yang terjadi kemudian? Betapa publik sepakbola tanah air serasa tak percaya saat penampilan hebat Firman Utina dan kawan-kawan menjadi antiklimaks dan tumbang di kandang sendiri oleh keperkasaan Malaysia yang pernah ditekuk 1-5 pada babak penyisihan grup.

Keluhan Alfred Riedl saat jumpa pers di Stadion Bukit Jalil Malaysia kiranya cukup mewakili apa penyebab merosotnya penampilan tim Garuda Merah-Putih. ”Federasi (PSSI) mengganggu persiapan tim saya dengan hal-hal yang tidak penting dan tak berkaitan dengan sepak bola.” Pelatih asal Austria yang terkenal kaku dalam penegakan disiplin pemain itu rupanya menyerah dengan intervensi-intervensi politik yang dilakukan oleh pengurus PSSI. Ia mulai menyerah saat Firman cs dibawa ke rumah keluarga Bakrie. Selanjutnya, kita semua tahu, tim ”Garuda” gagal meraih impian lama merebut gelar juara.

Belum hilang rasa sesak akibat kegagalan di Piala AFF, sepakbola Indonesia kembali diterjang ombak badai. PSSI yang seharusnya fokus membenahi kompetisi Liga Super Indonesia agar bisa menghasilkan tim nasional yang berprestasi justru menghabiskan energinya melawan pemberontakan beberapa klub yang membentuk kompetisi tersendiri dibawah naungan konsorsium dari pengusaha Arifin Panigoro. Kisruh yang sangat panjang mengakibatkan level sepakbola Indonesia berada pada titik terendah.

Pergantian pengurus PSSI rupanya belum mampu membawa sepakbola Indonesia pada iklim yang lebih baik. Lagi-lagi arogansi dan politisasi para pengurus masih kental mewarnai perjalanan sepakbola negeri ini. Gerbong kepengurusan lama yang tersingkirkan rupanya masih belum terima akan hilangnya rumah "penghasilan" mereka. Sementara, para pengurus baru juga masih terbawa aroma politisasi dari sang pencetus "breakaway league". Pertarungan demi pertarungan terus digelar oleh kedua kubu yang saling mengklaim bahwa merekalah yang paling benar, tanpa memikirkan konsekuensi tindakan mereka pada persepakbolaan tanah air. Hasilnya, serasa kita mengalami mimpi buruk. Tim nasional yang dulu pernah kita banggakan, ternyata sekarang hanya jadi bahan tertawaan seluruh penduduk bumi.

Politisasi dalam sepakbola adalah hal paling terlarang dalam peraturan FIFA. Sudah berapa banyak negara yang terkena hukuman hanya gara-gara intervensi pemerintah, meski itu untuk tujuan yang baik. FIFA menghendaki organisasi sepakbola itu independen dan jauh dari belitan politik. Memang, sepakbola adalah salah satu alat yang paling mudah untuk menarik massa. Saat-saat awal gairah masyarakat pada olahraga ini, partai-partai politik maupun pemerintah sudah jamak mempergunakan sepakbola sebagai alat propaganda. Ketika Jendral Fransisco Franco mengambil alih kekuasaan Spanyol, warga Catalan yang belum tulus menjadi bagian dari Spanyol menggunakan klub Barcelona sebagai sarana untuk mengekspresikan kebencian mereka pada pemerintahan Franco. Dan sang Jendral pun membalasnya dengan dukungannya pada tim ibukota Real Madrid untuk mempermalukan warga Catalan.

Itu dulu, sebelum sepakbola bertransformasi menjadi sebuah industri yang menjanjikan. Sekarang, hampir tidak ada lagi partai politik di sebuah negara yang menunggangi sepakbola untuk meraih hasrat politiknya, kecuali di Indonesia tentunya. Silvio Berlusconi, ketika masuk ke dunia politik hingga terpilih menjadi Perdana Menteri Italia, tak pernah sekalipun menggunakan klub miliknya, AC Milan sebagai sarana propaganda partai politiknya. Sebaliknya di Indonesia, hanya karena hasrat politik segelintir orang sepakbola Indonesia dibawa ke jurang kehancuran.

Bola kini berada di tangan para petinggi PSSI dan organisasi tandingannya, KPSI. Apakah akan memilih terus berkonfrontasi atau mengambil langkah bijak dengan melupakan ego dan arogansi masing-masing agar mimpi tim nasional kita tetap terjaga. Kinerja PSSI sekarang ini sesungguhnya baik. Kompetisi berjenjang dan pembinaan usia dini yang dulu terlupakan oleh pengurus lama sudah dibawa ke jalur yang benar. Namun, akibat arogansi politik, semua seakan sirna terhapus hasil satu pertandingan. Sungguh memilukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun