Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengembalikan Profesi Buzzer Sesuai Fitrahnya

15 Februari 2021   07:54 Diperbarui: 16 Februari 2021   11:39 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterlibatan buzzer dalam politik berkontribusi negatif dalam citra dan pemaknaan khalayak terhadap profesi buzzer (ilustrasi diolah pribadi)

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan profesi Buzzer. Istilah Buzzer berasal dari kata dasar "buzz" yang artinya percakapan atau pembicaraan. Kata "buzz" juga bisa diartikan sebagai dengungan, seperti seekor lebah yang mendengung. Itulah sebabnya buzzer kerap diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi "pendengung".

Jadi, Buzzer adalah orang yang diharapkan dapat membuat sebuah topik tertentu menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Buzzer diharapkan bisa mendengungkan tema-tema yang diinginkan agar dapat menarik perhatian pengguna media sosial. Singkatnya, tugas Buzzer adalah membuat sebuah kata kunci tertentu menjadi trending topic di dunia maya dan dibicarakan orang di dunia nyata.

Sayangnya, belakangan ini profesi buzzer mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak. Dari yang fungsinya sebagai alat pemasaran dalam digital marketing, buzzer kini beralih menjadi alat propaganda politik. 

Menurut penelitian Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada 2017, istilah buzzer politik mulai populer pada Pilkada DKI 2012. Penggunaan buzzer sebagai alat propaganda dan kampanye politik kemudian meluas terjadi pada Pilpres 2014 dan akhirnya di setiap pemilu.

Munculnya buzzer politik dianggap hanya menebar kegaduhan dengan berbagai postingan mereka di media sosial yang penuh dengan narasi memecah belah dan ujaran kebencian, terutama ditujukan pada pihak-pihak yang berseberangan.

Mantan menteri koordinator ekonomi era pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kwik Kian Gie, termasuk salah seorang yang dibuat gerah dengan ulah buzzer politik.

"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yg berbeda dng maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja d-buzzer habis2an, masalah pribadi diodal-adil," tulis Kwik Kian Gie di akun twitternya, @kiangiekwik.

Beda Buzzer Politik dengan Buzzer Digital Marketing

Buzzer politik memang berbeda dengan buzzer biasa. Jika buzzer biasa adalah pengguna internet yang disewa jasanya untuk mempromosikan produk atau acara, buzzer politik disewa untuk menebar kabar dan analisa sesukanya. 

Tak jarang akibat ulah buzzer politik masyarakat bisa tersesat oleh informasi palsu, dan yang lebih mengerikan lagi adalah, perpecahan hingga jatuhnya korban yang tidak diinginkan.

Majalah Tempo pernah menjuluki buzzer politik sebagai "sampah demokrasi dan produk gagal dari era kebebasan berpendapat". Bukan tanpa alasan apabila Tempo sampai menjuluki buzzer politik dengan istilah serendah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun