Hal ini tentu menuntut kesiapan tenaga pendidik di setiap sekolah untuk memindahkan ruang kelas mereka di dunia maya. Sayangnya, masih banyak tenaga pendidik yang gagap digital dan belum siap melakukan model pembelajaran jarak jauh, sekalipun masa pembelajaran ini sudah kita lalui hampir 10 bulan lamanya.
Tidak semua guru memiliki pemahaman atau literasi digital yang sepadan. Mengajar secara online membutuhkan lebih dari sekadar pemahaman yang lewat tentang teknologi yang terlibat. Pembelajaran jarak jauh membutuhkan proses kreativitas yang lebih tinggi agar siswa tidak mudah merasa bosan dan materi pelajaran bisa diserap dengan baik.
Kelas online juga membutuhkan lebih banyak pekerjaan, lebih banyak perhatian, dan lebih banyak komitmen daripada kelas tatap muka. Bagi guru, mereka harus mempersiapkan materi dan memikirkan apakah materi itu bisa sepenuhnya dipahami siswa tanpa harus mereka dampingi secara langsung.
Ada guru yang hanya sekadar memberi tugas tertulis lewat grup WhatsApp. Ada guru yang lebih kreatif dengan menyapa siswanya satu per satu lewat video call, dan secara intensif menjalin komunikasi dengan orangtua siswa tentang kendala apa saja yang dialami anak mereka saat belajar online.
Sekolah yang memiliki pengalaman digital lebih baik tentu juga punya parameter penilaian siswa yang lebih baik pula. Kemajuan belajar siswa tidak mutlak hanya diukur dari nilai-nilai hasil mengerjakan tugas sekolah, karena saat siswa mengerjakan di rumah, sudah tentu ada campur tangan orangtua.
Penting bagi orangtua dan siswa untuk mencermati opsi digital yang diadopsi sekolah. Sekalipun nanti proses pembelajaran jarak jauh tetap dilakukan, orangtua dan siswa tentu ingin hasil belajar jarak jauh ini sama dengan hasil belajar secara tatap muka langsung.