Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudah Benarkah Adab Kita dalam Menghormati Nabi Muhammad SAW?

9 November 2019   09:28 Diperbarui: 9 November 2019   09:31 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Maulid Nabi Muhammad SAW (sumber gambar: wallpapersafari.com)

Kota Madinah dan Mekah terguncang hebat. Kabar berpulangnya Rasulullah SAW ke Rafiqul A'la menyebar dengan cepat, membuat banyak sahabat dan kaum muslimin menjadi resah dan gelisah, ditimpa kebingungan.

Pada hari itu, kaum muslimin di Madinah bagai orang yang kehilangan, melihat kiri kanan tapi mereka tidak menemukan bapak yang selama ini memenuhi kehidupan mereka dengan kasih sayang. Mereka tidak lagi melihat cahaya yang meliputi wujud mereka hingga terang benderang. Kaum muslimin seperti lupa daratan dan kehilangan kesadaran.

Tak terkecuali Umar bin Khattab r.a. Sahabat yang terkenal kukuh imannya ini tidak mempercayai berita yang ia dengar, bahwa Rasulullah sudah memenuhi panggilan-Nya dan pergi meninggalkan kehidupan dan semua yang hidup. Di hadapan khalayak ramai, Umar menghunus pedangnya sambil menyerukan,

"Beberapa oknum dari golongan munafik mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah wafat. Padahal demi Allah ia tidaklah wafat, hanya pergi kepada Khaliqnya sebagaimana yang dilakukan oleh Musa bin Imran.

Demi Allah, Rasulullah pasti kembali dan akan datang memotong tangan orang yang mengatakannya wafat. Ingatlah, siapa yang berani mengatakan bahwa Rasulullah SAW wafat, akan saya penggal batang lehernya dengan pedangku ini...."

Jika Umar bin Khattab kehilangan kesadaran seperti itu, bagaimana dengan kaum muslimin yang lain? Wafatnya Rasulullah merupakan peristiwa sekonyong-konyong dan tidak terduga sama sekali oleh kaum muslimin. Sekalipun sudah lama mereka mendengar kabar tentang sakitnya beliau. Namun, tidak pernah terlintas sedikit pun di pikiran kaum muslimin bahwa mereka suatu saat harus kehilangan cahaya yang selama ini sudah menerangi hati mereka.

Maka, ketika Allah melaksanakan kehendak-Nya dan memilih Rasulullah untuk tinggal di sisi-Nya, jiwa mereka terguncang, hati mereka terombang-ambing, iman mereka goyah.

Di saat itu, tampillah Abu Bakar as Shiddiq r.a menenangkan hiruk pikuk yang terjadi. Di hadapan wajah-wajah bingung dan jiwa yang terlihat kosong, Abu Bakar menyampaikan puji-pujian kepada Allah, kemudian berkata,

"Hai Kaum Muslimin! Barang siapa yang mengabdi kepada Nabi Muhammad maka sesungguhnya Nabi Muhammad telah wafat! Dan barang siapa yang mengabdi kepada Allah, maka sesungguhnya Allah tetap hidup dan takkan mati untuk selama-lamanya...!"

Kemudian Abu Bakar mengutip firman Allah,

"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kalian akan berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun. Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur" (QS. 2: 144).

Seruan Abu Bakar ini bagai setetes embun di padang pasir, seperti sebatang lilin yang menyala di tengah gelap gulita. Apa yang dikatakan Abu Bakar menyejukkan hati sekaligus menerangi gelapnya pikiran yang sempat menyelimuti setiap diri kaum muslimin di Madinah. 

Akan halnya Umar bin Khattab, demi diketahuinya dari kalimat-kalimat Abu Bakar bahwa Rasulullah benar-benar wafat, ia pun jatuh ke tanah tak sadarkan diri.

***

Dalam menghormati dan meneladani Nabi Muhammad SAW, kita sering melakukannya terlalu berlebihan, seperti yang dilakukan Umar bin Khattab saat menanggapi kabar wafatnya Rasulullah SAW. Kita mengagungkan Rasulullah jauh melebihi batas kewajaran dan batas keimanan.

Hal ini bisa kita lihat saat umat Muslim, khususnya di Indonesia memperingati Maulid Nabi. Banyak ustadz apalagi orang awam yang berusaha sekuat kemampuannya menceritakan dan menguraikan keajaiban-keajaiban yang terjadi menjelang atau saat kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Di acara pengajian di kampung-kampung, para mubaligh dengan bersemangat menceritakan,

"Ketika Nabi lahir, berguncang singgasana kaisar, berjatuhan berhala-berhala, padamlah api yang disembah bangsa Persia..."

"Beliah lahir dalam keadaan bercelak mata, putus tali pusarnya, sudah dalam keadaan dikhitan bahkan dapat melihat dari pundaknya...."

Keajaiban-keajaiban ini -- seandainya benar -- memang luar biasa, tetapi tidak menambah kepercayaan orang beriman. Benar, Rasulullah SAW adalah manusia istimewa, baik secara lahir maupun batin. Tetapi melukiskan situasi dan keadaan beliau saat lahir seperti itu menjadikan Nabi Muhammad tidak seperti manusia lagi.

Penggambaran yang berlebihan ini seringkali didorong oleh hasrat untuk membuktikan keagungan manusia yang mulia ini. Tetapi kita melakukannya secara berlebihan, dan ini bukanlah sikap yang beradab dalam memberi penghormatan kepada Rasulullah SAW.

Menurut Qurasih Shihab, adab atau etika pada dasarnya bermakna "keadilan atau menempatkan sesuatu pada tempat yang wajar." Tidak adil dan tidak beradab apabila kita menghormati orang tua sama dengan kita menghormati teman sebaya. Intinya, mengurangi atau melebihkan dari yang semestinya adalah sikap yang tidak beradab.

Begitu pula dalam menghormati dan meneladani Rasulullah SAW, kita sering bersikap tidak beradab terhadap beliau. Nabi Muhammad, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 144, "....tidak lain hanyalah seorang Rasul". Beliau memang manusia seperti kita juga dalam aspek fungsi fisik dan nalurinya.

Tetapi, sifat kemanusiaan Rasulullah SAW mencapai kesempurnaan karena beliau dipilih Allah untuk menerima wahyu dan menjadi "Rasul akhir jaman."

Allah sendiri  menunjuk atau memanggil manusia paling mulia ini dengan gelar terhormat seperti "Wahai Nabi" atau "Wahai Rasul". Hanya satu ayat saja yang menyebut namanya tanpa diiringi gelar kehormatan. 

"Jangan jadikan panggilanmu terhadap Rasul sama dengan panggilan sebagian kamu terhadap sebagian yang lain" (QS. 24:63).

Di satu sisi, kekaguman yang berlebihan tidak jarang mengantarkan kita kepada sikap tidak adil atau tidak beradab. Bahkan condong pada pengkultusan individu. Sikap mengkultuskan pribadi seseorang ini malah bisa mendekatkan orang tersebut pada kekufuran.

Rasulullah sendiri tidak menyukai pengkultusan terhadap dirinya. Nabi Muhammad SAW mencela setiap sikap berlebih-lebihan dalam memuliakan dirinya.

"Janganlah kalian berdiri sebagaimana berdirinya orang asing, saling mendewakan sesamanya" ujar beliau ketika para sahabat bangkit berdiri untuk menyambut kedatangannya.

Dalam hadis lain dari Umar bin Khattab, Rasulullah bersabda,

"Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka kata-kanlah, ''Abdullah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya)" (HR. Bukhari no. 3445).


Sebagai umatnya, kita tentu hormat dan kagum kepada Rasulullah SAW. Bukan saja ketika memandang beliau dari kacamata seorang insan, tetapi juga ketika memandang beliau dari sudut pandang ajaran agamanya. Dari sini, penghormatan dan rasa kekaguman kita hendaklah didasarkan pada apa yang sudah diajarkan Allah dan Rasulullah dalam Al Quran dan hadis.

Mari kita teladani dan hormati Rasulullah SAW dengan sikap yang beradab. Dalam arti tidak melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun