"Mengapa disebut cak? Karena Cak adalah Cak, Cakap, Agamis dan kreatif. Itulah Cak Jokowi," ucap Djadi di depan Jokowi.
"Kalau sudah Cak-nya, maka ndak komplet kalau tidak ada Jancuknya. Maka Jokowi adalah Jancuk. Apa itu Jancuk? Jantan, Cakap, Ulet dan Komitmen saudara-saudara," kata pembawa acara melanjutkan penjelasannya.
Panitia deklarasi sendiri merasa kaget dan menyesalkan pemberian gelar Jancuk pada presiden Jokowi.
"Kami hanya memberikan sebutan Cak saja bagi Pak Jokowi kemarin. Itu saja titik," kata Sekretaris Deklarasi Alumni Jawa Timur Teguh Prihandoko saat dikonfirmasi detikcom, melalui sambungan telepon, Minggu (3/1/2019).
Akronim Jancuk seperti yang dimaksudkan Djadi Galajapo itu mengingatkan saya pada akronim dari slogan tak resmi yang dipakai Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), yakni "ITS Cuk!" yang berarti ITS Cerdas, Ulet, Kreatif. Mungkin karena Djadi alumnus ITS, alhasil dia berinisiatif memberi gelar Jancuk yang akronimnya merujuk pada akronim slogan  almamaternya itu.
Meskipun kata "cuk" itu singkatan dari "jancuk", dalam pemakaiannya pada slogan ITS masih terdengar lebih sopan dibandingkan memakai "jancuk" secara langsung. Kata "cuk" yang ditambahkan setelah ITS penekanannya menunjukkan arti kebanggaan pada institusi ini (bayangkan mengucapkan "ITS CUK!" sembari memegang emblem logo ITS; sama seperti suporter Persija bilang "Gue Persija!)
Berbeda apabila kata "jancuk" dipakai secara penuh, menjadi "ITS Jancuk!" Yang terdengar tidak lagi sebuah kebanggaan, melainkan umpatan pada ITS!
Terlepas dari tafsir kata Jancuk oleh anak muda Surabaya ini, dan apapun akronim atau singkatan di dalamnya seperti yang dimaksudkan Djadi Galajapo, kata Jancuk tetap dianggap kata kasar dan tabu untuk diucapkan.Â
Tak ada satu pun orang tua di Surabaya yang rela mendengar anaknya mengucapkan kata jancuk berulangkali. Sedapat mungkin orang tua akan menghalangi anaknya mengucapkan kata jancuk, meskipun itu diucapkan sebagai simbol keakraban antar teman.
Saya jadi ingat dengan pengalaman seorang teman yang anaknya kerap misuh-misuh (mengumpat) jancuk. Anaknya masih kecil, baru berusia 5 tahun. Mungkin karena pengaruh pergaulan di lingkungannya, anak teman saya itu sangat fasih mengucapkan kata jancuk. Setiap dia merasa jengkel, umpatan jancuk langsung terlontar.
Tentu saja teman saya itu merasa risih dan malu. Para tetangga yang mendengar anaknya misuh-misuh itu seakan menilai dia tidak bisa mendidik anaknya sopan santun dalam bertutur kata. Berbagai cara dilakukan teman saya tadi untuk menasihati anaknya yang masih kecil supaya tidak mudah mengucapkan jancuk.