Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Ada Jutaan Kata yang Lebih Sopan, tapi Presiden Jokowi Malah Digelari Jancuk!

3 Februari 2019   21:39 Diperbarui: 4 Februari 2019   08:48 4829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: Instagram @aslisuroboyo

Dalam kosakata bahasa Jawa dialek Suroboyoan, "jancuk" adalah kata makian yang sering dipakai seperti kata "fuck" dalam bahasa Inggris. Kata ini merupakan singkatan dari bentuk pasif "diancuk" yang konon merupakan turunan dari kata "diencuk" yang artinya "disetubuhi". Kata "jancuk" biasanya sering disingkat lagi dengan kata "cuk" saja.

Variasi yang lebih kasar dari kata umpatan ini adalah "mbokmu goblok, makmu kiper, dengkulmu sempal, matamu suwek, koen ancene jancuk'an"; yang dalam dialek Surabaya sering dipakai sebagai bumbu percakapan marah.

Sementara bagi anak muda Surabaya, atau akrab disebut Arek Suroboyo, kata Jancuk sendiri dianggap memiliki makna ganda. Negatif bila diucapkan dengan amarah. Tapi dianggap positif bila diucapkan untuk mempererat pertemanan. Rasanya kurang afdol apabila saat menyapa teman akrab tidak diimbuhi dengan kata Jancuk atau Cuk.

"Jancuk! Yok opo kabarmu saiki?" (Bagaimana kabarmu sekarang?)

"Cuk! Raimu nang ndi wae?" (Wajahmu kemana saja?)

Meski dengan penekanan tanda seru, dua kalimat diatas tidak diucapkan dengan amarah, melainkan dengan nuansa pertemanan yang akrab.

Kata "jancuk" juga diartikan sebagai tanda seberapa dekatnya Arek Suroboyo dengan temannya yang ditandai apabila ketika kata jancuk diucapkan maka obrolan akan semakin hangat.

Contoh: "Yo gak ngunu cuk critane matamu, mosok mbalon gak mbayar". (Ya tidak begitu ceritanya, masak kamu melacur tidak bayar).

Meskipun dari sumber asalnya kata "jancuk" bersifat negatif, kata ini malah dipakai dan disematkan sebagai gelar bagi Presiden Jokowi!

Gelar Jancuk ini disematkan oleh pembawa acara dalam deklarasi Forum Alumni Jatim yang digelar di Tugu Pahlawan Surabaya Jawa Timur, Sabtu (2/2). Selain gelar Jancuk, Jokowi juga mendapat gelar panggilan "Cak".

Pembawa acara deklarasi, Djadi Galajapo mengatakan gelar 'Cak' memiliki arti yakni Cakap, Agamis dan Kreatif.

"Mengapa disebut cak? Karena Cak adalah Cak, Cakap, Agamis dan kreatif. Itulah Cak Jokowi," ucap Djadi di depan Jokowi.

"Kalau sudah Cak-nya, maka ndak komplet kalau tidak ada Jancuknya. Maka Jokowi adalah Jancuk. Apa itu Jancuk? Jantan, Cakap, Ulet dan Komitmen saudara-saudara," kata pembawa acara melanjutkan penjelasannya.

Panitia deklarasi sendiri merasa kaget dan menyesalkan pemberian gelar Jancuk pada presiden Jokowi.

"Kami hanya memberikan sebutan Cak saja bagi Pak Jokowi kemarin. Itu saja titik," kata Sekretaris Deklarasi Alumni Jawa Timur Teguh Prihandoko saat dikonfirmasi detikcom, melalui sambungan telepon, Minggu (3/1/2019).

Akronim Jancuk seperti yang dimaksudkan Djadi Galajapo itu mengingatkan saya pada akronim dari slogan tak resmi yang dipakai Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), yakni "ITS Cuk!" yang berarti ITS Cerdas, Ulet, Kreatif. Mungkin karena Djadi alumnus ITS, alhasil dia berinisiatif memberi gelar Jancuk yang akronimnya merujuk pada akronim slogan  almamaternya itu.

Meskipun kata "cuk" itu singkatan dari "jancuk", dalam pemakaiannya pada slogan ITS masih terdengar lebih sopan dibandingkan memakai "jancuk" secara langsung. Kata "cuk" yang ditambahkan setelah ITS penekanannya menunjukkan arti kebanggaan pada institusi ini (bayangkan mengucapkan "ITS CUK!" sembari memegang emblem logo ITS; sama seperti suporter Persija bilang "Gue Persija!)

Berbeda apabila kata "jancuk" dipakai secara penuh, menjadi "ITS Jancuk!" Yang terdengar tidak lagi sebuah kebanggaan, melainkan umpatan pada ITS!

Terlepas dari tafsir kata Jancuk oleh anak muda Surabaya ini, dan apapun akronim atau singkatan di dalamnya seperti yang dimaksudkan Djadi Galajapo, kata Jancuk tetap dianggap kata kasar dan tabu untuk diucapkan. 

Tak ada satu pun orang tua di Surabaya yang rela mendengar anaknya mengucapkan kata jancuk berulangkali. Sedapat mungkin orang tua akan menghalangi anaknya mengucapkan kata jancuk, meskipun itu diucapkan sebagai simbol keakraban antar teman.

Saya jadi ingat dengan pengalaman seorang teman yang anaknya kerap misuh-misuh (mengumpat) jancuk. Anaknya masih kecil, baru berusia 5 tahun. Mungkin karena pengaruh pergaulan di lingkungannya, anak teman saya itu sangat fasih mengucapkan kata jancuk. Setiap dia merasa jengkel, umpatan jancuk langsung terlontar.

Tentu saja teman saya itu merasa risih dan malu. Para tetangga yang mendengar anaknya misuh-misuh itu seakan menilai dia tidak bisa mendidik anaknya sopan santun dalam bertutur kata. Berbagai cara dilakukan teman saya tadi untuk menasihati anaknya yang masih kecil supaya tidak mudah mengucapkan jancuk.

Butuh waktu hampir setengah tahun lamanya, barulah anak teman saya itu bisa mengurangi frekuensi ucapan jancuk. Memang tidak hilang sama sekali, tapi setidaknya saat dia jengkel kata jancuk tidak lagi terucap. Menurut teman saya, berbagai jurus ancaman dan rayuan dengan imbalan hadiah dia lakukan supaya anaknya tidak mudah misuh-misuh jancuk.

Pemberian gelar "jancuk" bagi presiden Jokowi ini membuat saya jadi membayangkan, anak-anak muda kita nanti malah menjadi akrab dengan kata Jancuk. Pemberian gelar Jancuk pada presiden juga seolah menjadi semacam legalisasi bahwa kata Jancuk tak lagi tabu untuk diucapkan.

Bisa jadi, selain kata Jancuk, akan banyak lagi gelar-gelar atau akronim aneh lain yang berkonotasi kasar dan negatif menjadi sering diucapkan seolah itu adalah kata-kata yang biasa saja. Coba bayangkan sendiri, bila ada anak muda menyapa Jokowi dengan kalimat sapaan,

"Cak Jokowi Jancuk!"

Mungkin tidak diucapkan dengan nada amarah, mungkin pula tidak dimaksudkan untuk mengumpat atau memaki presiden Jokowi. Tapi, tetap saja saya merasa risih mendengar ada orang - apalagi sekelas presiden - disapa seperti itu.

Sungguh, budaya bangsa kita yang menjunjung tinggi adab dan kesopanan kini seolah tergerus oleh zaman. Ironisnya, ketidaksopanan dalam bertutur kata itu justru dicontohkan oleh para elit negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun