Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Menambang Data Pengenalan Wajah Lewat Tren "10 Years Challenge"

17 Januari 2019   00:21 Diperbarui: 17 Januari 2019   14:11 1391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ALYSSA FOOTE; GETTY IMAGES | Sumber: wired.com

Dua hari ini, media sosial ramai dengan tren #10 YearsChallenge. Entah siapa yang memulai tren ini, di beberapa platform media sosial seperti Facebook, Instagram dan Twitter tampak bersliweran berbagai meme yang menjawab tantangan tersebut.

Praktiknya sederhana; cukup mengunggah foto diri 10 tahun yang lalu dan membandingkannya dengan foto diri yang sekarang. Pengguna media sosial pun antusias memenuhi tantangan tersebut. Ada yang serius mengunggah foto pribadi mereka. 

Ada pula yang main-main dengan membandingkan foto pribadi yang sekarang dengan foto orang lain - biasanya artis terkenal - 10 tahun yang lalu. Tak sedikit yang mengunggah foto perbandingan hewan peliharaan mereka.

Namun, dibalik tantangan yang sedang menjadi tren ini, ada sebuah ilusi tak kasat mata, yang tidak disadari pengguna media sosial. Ilusi itu adalah potensi penambangan data pengenalan wajah (Face Recognition).

Tesis ini pertama kali dilontarkan oleh Kate O'Neil, pendiri KO Insight dan penulis buku Tech Humanist and Pixels and Place: Connecting Human Experience Across Physical and Digital Spaces. Alih-alih ikut tantangan, melalui akun twitternya @kateo, Kate melontarkan cuitan semi-sarkastik:

Saya 10 tahun yang lalu:

Mungkin akan ikut bermain bersama dengan gambar profil meme penuaan yang dikeluarkan di Facebook dan Instagram.

Saya sekarang:

Merenungkan bagaimana semua data ini dapat ditambang untuk melatih teknologi pengenalan wajah tentang perkembangan zaman dan pengenalan teknologi oleh raksasa internet.

Kicauan Kate tersebut langsung menarik perhatian banyak netizen. Ada yang setuju dengan tesisnya, namun tak sedikit pula yang mengatakan Kate paranoid.

Sebagian besar netizen yang mengkritik Kate mengatakan: "Data itu sudah tersedia. Facebook sudah punya semua gambar profil. "

Memang benar. Dari awal kita bergabung dengan Facebook, Instagram atau media sosial manapun, mereka punya koleksi foto profil kita. Tapi, seluruh rangkaian foto profil yang kita pajang bisa saja dianggap sebagai data sampah.

Banyak pengguna media sosial yang memasang foto profil bukan dari foto pribadinya. Beberapa teman Facebook saya bahkan memasang foto kartun, gambar kata, pola abstrak, dan gambar-gambar lain yang tidak menunjukkan jati diri pribadi.

Algoritma waktu foto profil juga acak. Pengguna media sosial tidak dapat mengunggah foto profil dengan kronologis yang andal. Tidak ada petunjuk waktu kapan foto profil itu diambil.

Sekarang coba bayangkan situasi berikut: Ada perusahaan yang ingin melatih algoritma pengenalan wajah pada karakteristik yang berkaitan dengan usia, dan, lebih khusus, tentang perkembangan usia (misalnya: Bagaimana orang-orang cenderung terlihat seiring bertambahnya usia).

Idealnya, perusahaan tersebut ingin kumpulan data yang luas dan ketat dengan banyak gambar orang. Lebih bagus lagi apabila data foto wajah itu dipisahkan dalam kurun waktu tertentu -- katakanlah 10 tahun.

Kemudian datanglah tantangan 10 tahun ini. Akhirnya, berkat meme yang diunggah pengguna media sosial, sekarang sudah tersedia satu set data yang sangat besar dari foto-foto orang yang dikuratori dengan hati-hati dari sekitar 10 tahun yang lalu dan sekarang. Perusahaan itu tinggal menambangnya saja.

Bahkan validitas dan data dari foto itu bisa bertambah karena tidak sedikit pengguna media sosial yang menambahkan caption tahun berapa hingga lokasinya dimana. Misalnya "saya pada 2008, dan saya pada 2018". Ada pula yang menyertakan informasi lebih lengkap, seperti "2009 di Universitas Cibitung, difoto sama Jono; 2018 saat mengantar Emak ke Pasar Baru".

Masih tentang kritik terhadap tesis penambangan data pengenalan wajah ini, ada yang mengatakan jika untuk menambang data wajah seseorang, ada banyak data sampah yang bisa digunakan, alih-alih merekayasa sebuah tren.

Tetapi para peneliti dan ilmuwan data lebih tahu bagaimana memanfaatkan ilusi tentang tren. Seperti halnya tagar yang menjadi viral, kita lebih percaya pada validitas data yang ada dibalik tagar viral tersebut. Begitu pula dengan tren atau kampanye massal di media sosial.

Masalah data pribadi dari pengguna media sosial sudah cukup lama menjadi perhatian banyak pemerintah di dunia. Kita tentu ingat dengan skandal bocornya 70 juta pengguna Facebook yang dimanfaatkan oleh Cambridge Analytica. Baru-baru ini Google juga menutup platform media sosial, Google Plus yang salah satu alasannya adalah ada kebocoran data pengguna.

Teknologi pengenalan wajah memang termasuk teknologi kecerdasan buatan yang masih baru. Tapi bukan berarti belum ada yang memanfaatkan teknologi tersebut untuk kepentingan tertentu.

Pada akhir tahun 2016, Amazon memperkenalkan layanan pengenalan wajah secara real-time. Mereka kemudian mulai menjual layanan-layanan itu kepada penegak hukum dan lembaga pemerintah, seperti departemen kepolisian di Orlando dan Washington County, Oregon.

Tetapi teknologi ini menimbulkan masalah privasi utama; polisi dapat menggunakan teknologi tidak hanya untuk melacak orang-orang yang diduga melakukan kejahatan, tetapi juga orang-orang yang tidak melakukan kejahatan, seperti demonstran dan orang lain yang dianggap mengganggu oleh polisi.

American Civil Liberties Union lalu meminta Amazon untuk berhenti menjual layanan ini. Begitu pula sebagian pemegang saham dan karyawan Amazon, yang meminta Amazon untuk menghentikan layanan tersebut, dengan alasan kekhawatiran akan penilaian dan reputasi perusahaan.

Meski begitu, teknologi pengenalan wajah juga bisa sangat berguna. Tahun lalu polisi di New Delhi, India melaporkan berhasil melacak hampir 3.000 anak yang hilang hanya dalam waktu empat hari dengan menggunakan teknologi ini.

Terlepas dari asal atau maksud di balik meme tantangan ini, kita semua harus menjadi lebih mengerti tentang data yang kita buat dan bagikan, akses yang kita berikan padanya, dan implikasinya untuk penggunaannya.

Jika konteksnya adalah permainan yang secara eksplisit menyatakan bahwa itu mengumpulkan pasangan foto yang dulu dan sekarang untuk penelitian perkembangan usia, kita bisa memilih untuk berpartisipasi dengan kesadaran siapa yang seharusnya memiliki akses ke foto dan untuk tujuan apa.

Manusia adalah sumber daya paling berharga bagi teknologi kecerdasan buatan. Sudah sepatutnya bila kita harus menuntut agar dunia bisnis teknologi terbaru ini memperlakukan data kita dengan hormat, dengan segala cara. Di satu sisi, kita juga harus lebih perdulu dan perlu memperlakukan data kita sendiri dengan hormat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun