Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Gunakan Saja Kata yang Lebih Populer daripada Bingung dengan Istilah KBBI-nya

16 Desember 2018   23:29 Diperbarui: 16 Desember 2018   23:38 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih suka mana, menggunakan kata daring alih-alih online? Lebih familiar mana, mengucapkan kata browsing atau meramban?

Jika bukan karena artikelnya Pak Bambang Trim, mungkin saya tidak akan kenal istilah Jenama. Menurut KBBI, istilah ini berarti merek, jenis. Istilah asing populernya adalah brand.

Kudet ya? Sudah sekian lama menulis, membaca, ternyata baru sekarang saya tahu ada istilah ini. Tapi saya yakin, banyak penulis, apalagi orang awam yang tidak kenal dan tidak mengerti istilah jenama.

Pengalaman saya dengan istilah jenama menunjukkan bahwa banyak kata atau istilah dalam KBBI yang dimaksudkan untuk mengganti kata asing populer ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Masyarakat tidak familiar untuk mengucapkan, atau merasa asing saat mendengarnya.

Saya dulu sempat berpikir dan bertanya, mengapa istilah yang sudah populer digunakan masyarakat itu harus dialihbahasakan dengan istilah yang malah membuat bingung? Apakah wajib hukumnya, dalam hal penulisan atau dalam dunia literasi, diksi atau frasa yang sudah terlanjur populer diganti dengan istilah menurut KBBI?

Pertanyaan pernah saya tanyakan saat mengikuti sebuah bimbingan teknis yang diadakan Kemdikbud beberapa waktu lalu. Oleh pemateri, dosen Bahasa Indonesia dari Unair, dijawab tidak ada kewajiban untuk mengganti istilah asing populer dengan kata serapan atau kata baku yang sudah "direstui" KBBI.

Kita bisa menggunakan istilah asing, baik populer atau tidak sepanjang mengikuti syarat dan kaidah penulisan yang berlaku. Dalam buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (2003) dijelaskan bahwa huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali yang telah disesuaikan ejaannya

Dari sini kita bisa melihat bahwa bahwa penggunaan kata atau ungkapan asing dalam artikel ataupun karya tulis lainnya diperbolehkan dengan syarat ditulis dengan huruf miring. Ini untuk membedakan kata tersebut adalah istilah asing, bukan istilah baku atau istilah serapan yang telah disesuaikan ejaannya.

Ada sebuah paradoks tersendiri menyangkut pemakaian istilah asing dan kata serapannya dalam Bahasa Indonesia. Dulu, masyarakat belum terbiasa atau belum banyak yang mengerti dengan istilah-istilah asing. Tapi sekarang keadaannya terbalik. Masyarakat lebih familiar dengan istilah asing daripada istilah serapan yang telah disesuaikan ejaannya.

Jika dulu untuk menggunakan istilah asing harus dijelaskan artinya dengan kata dalam kurung, sepertinya sekarang justru istilah serapan itulah yang harus dijelaskan apa persamaannya dalam istilah yang lebih populer.

Padahal, dalam penyerapan bahasa asing, ada proses yang disebut adopsi dan adaptasi. Proses adopsi adalah proses terserapnya bahasa asing karena pemakai bahasa tersebut mengambil kata asing yang memiliki makna sama secara keseluruhan tanpa mengubah lafal atau ejaan dengan bahasa Indonesia. Contohnya adalah Supermarket.

Sementara proses adaptasi adalah proses diserapnya bahasa asing akibat pemakai bahasa mengambil kata bahasa asing, tetapi ejaan atau cara penulisannya berbeda dan disesuaikan dengan aturan bahasa Indonesia. Contohnya adalah opsi (dari kata option).

Lantas, mengapa ada beberapa kata dari bahasa asing yang dalam penyerapannya berubah menjadi kata yang sangat tidak populer? Mengapa tidak diadopsi atau diadaptasi langsung begitu saja?

Saya ambil contoh kata daring (online), luring (offline) atau jenama (brand). Daring, menurut etimologinya adalah akronim dari "dalam jaringan", sementara "luring" adalah akronim dari "luar jaringan". Penggantian kata online menjadi daring dan offline menjadi luring merujuk pada arti harfiah dari dua kata tersebut.

Sekarang coba kita tanya, lebih nyaman mana memakai kata online atau daring? Lebih terasa enak didengar yang mana, offline atau luring? Bahkan anak kecil pun tahu kata mana yang harus diucapkan.

"Aduh, internetnya lagi offline nih".

Tidak ada anak-anak yang berkata, "Asik, internetnya sudah daring lagi."

Begitu pula dengan kata jenama. Saya tidak tahu darimana asal usulnya kata jenama itu digunakan untuk mengganti kata brand. Hanya saja, setelah saya telusuri, kata jenama ternyata lebih banyak digunakan dalam Bahasa Malaysia! Nah loh....

Mengapa tidak diadopsi saja kata brand itu? Bukankah kata itu sudah sering diucapkan dan didengar masyarakat? Enak atau tidaknya kata itu didengar tentu saja disebabkan karena kata tersebut frekuensi penggunaannya tinggi.

Seperti kata warganet, atau netizen yang sekarang sudah masuk KBBI dan tidak perlu ditulis dengan huruf miring. Menurut Kepala Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Sunendar menjelaskan, sebuah kata bisa masuk dalam KBBI jika frekuensi penggunaannya tinggi. Kata tersebut baru, unik, sedap didengar, dan berkonotasi positif.

"Tentu masuk atau diserapnya sebuah kata melalui proses pengumpulan data, analisis data, apakah kata itu kategori umum atau khusus," kata Dadang, dikutip dari Kompas, Rabu (23/8/2017).

Masuknya kata warganet dan netizen menjadi kata baku resmi versi KBBI menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia itu dinamis. Penggunaan bahasa (Indonesia) secara alami akan mengikuti kebutuhan penuturnya.  Kesesuaian antara bahasa dan pemakaiannya inilah yang disebut dengan ragam bahasa. Formal, semi formal, non formal; jurnalistik; populer dan ilmiah, adalah macam-macam ragam bahasa.

Menurut Hasan Alwi dkk. (2003: 13---14), ragam bahasa ini memiliki dua ciri, yaitu kemantapan dinamis dan kecendikiawan. Kemantapan dinamis berarti aturan dalam ragam bahasa ini telah berlaku dengan mantap, tetapi bahasa ini tetap terbuka terhadap perubahan (terutama dalam kosakata dan istilah). Ciri kecendikiawan terlihat dalam penataan penggunaan bahasa secara teratur, logis, dan masuk akal.

Dalam penulisan artikel populer, tidak ada salahnya jika kita menggunakan istilah-istilah yang populer dan familiar, alih-alih menggantinya dengan kata serapan yang baku, tapi membingungkan pembacanya. Begitu pula dalam penulisan karya tulis ilmiah. Kata atau istilah populer bisa kita gunakan sepanjang kita memenuhi kaidah penulisannya dengan benar, yakni ditulis dengan huruf miring apabila kata tersebut belum terserap secara baku.

Satu syarat lagi dalam pemakaian kata asing yang populer adalah, kita harus menggunakannya secara konsisten. Artinya, jika sejak pertama kita menuliskan online, maka kata ini harus tetap kita pakai terus hingga akhir. Jangan sampai berubah-ubah. Di awal tulisan memakai kata online, kemudian berganti menjadi daring, berubah lagi menjadi online.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun