Amerika Serikat selama ini dikenal sebagai juara liberalisme ekonomi: perdagangan bebas, minimalisasi intervensi negara, dan supremasi pasar. Namun, ketika Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih pada 2025, wajah Amerika mulai berubah. Melalui kebijakan-kebijakan tarif yang agresif dan pendekatan populisme ekonomi, Trump menunjukkan bahwa liberalisme bisa dikorbankan demi proteksi nasional. Ini bukan sekadar ironi, tapi pertanda bahwa ideologi pun kini tunduk pada kekuatan politik (Irwin, 2020).
Dalam suasana global yang semakin rapuh, Trump tampil sebagai tokoh yang tidak merestorasi harapan, tapi justru mengoyak peta lama dan memaksakan kompasnya sendiri. Liberalisme, yang selama ini menjadi bendera dagang Amerika, seolah dikibarkan setengah tiang di hadapan agenda merkantilis baru.
Kebangkitan Merkantilisme di Negeri Liberal
Salah satu ciri paling mendasar dari merkantilisme adalah pandangannya yang bersifat zero-sum game---di mana keuntungan satu negara dianggap hanya bisa dicapai melalui kerugian negara lain. Ini bertentangan langsung dengan semangat liberalisme ekonomi, yang memandang perdagangan sebagai positive-sum game, tempat semua pihak bisa diuntungkan melalui kerja sama dan efisiensi pasar.
Sejak awal masa jabatannya di 2025, Trump langsung menetapkan kebijakan tarif yang sangat agresif. Dengan menggunakan Undang-undang IEEPA, ia menerapkan tarif dasar 10% untuk semua barang impor (White House, 2025). Tidak berhenti di situ, pada pertengahan tahun, ia mulai mengirimkan "surat tarif" kepada berbagai negara mitra dagang strategis seperti Jepang, Korea Selatan, dan Meksiko, menegaskan kenaikan tarif antara 25--40% yang berlaku efektif 1 Agustus 2025 (Trade Compliance Resource Hub, 2025; Reuters, 2025).
Langkah ini bukan sekadar reaksi terhadap defisit dagang, tapi merupakan pernyataan ideologis bahwa negara berhak untuk kembali menjadi aktor utama dalam regulasi ekonomi. Dengan dalih keamanan nasional dan kesejahteraan pekerja domestik, Trump secara terang-terangan membawa kembali semangat merkantilisme: akumulasi surplus melalui intervensi negara (Business Insider, 2025).
Pengamatan saya, langkah Trump ini sebagai bentuk kegagapan elite terhadap ketidakpastian global. Bukannya memperkuat keunggulan kompetitif, mereka justru menebalkan dinding nasionalisme ekonomi yang rapuh dalam fondasi logika jangka pendek. Amerika tidak sedang bangkit, ia sedang mundur dengan langkah yang keras kepala.
Narasi Populis dalam Bungkus Ekonomi Proteksionis
Trump tidak hanya bermain dalam angka tarif. Ia juga menghidupkan narasi populis bahwa liberalisasi perdagangan telah menghancurkan lapangan kerja dan komunitas kelas pekerja Amerika. Dalam pidato-pidatonya, ia kerap menyalahkan Cina, Meksiko, dan bahkan organisasi internasional seperti WTO sebagai penyebab kemunduran ekonomi domestik.
Namun, di balik retorika tersebut, kebijakan tarif ternyata memperburuk daya beli masyarakat. Harga barang-barang konsumsi naik, rantai pasok global terganggu, dan beban ekonomi justru berpindah ke konsumen (Bown & Zhang, 2019; OECD, 2025; Tax Foundation, 2025). Ironisnya, mereka adalah kelompok yang paling dibela oleh Trump dalam narasinya.