Mohon tunggu...
Priya Penuh Pesona
Priya Penuh Pesona Mohon Tunggu... Historian

Menulis, Membaca, dan Diskusi Sejarah, Politik, Hukum dan Filsafat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sejarah Asyik: Jurus SMA Negeri 2 Magelang Pakai Medsos

23 September 2025   12:10 Diperbarui: 23 September 2025   11:44 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://gemini.google.com/app/346459a5166eb4c3?utm_source=app_launcher&utm_medium=owned&utm_campaign=base_all 

Perkembangan pesat teknologi informasi secara fundamental telah mengubah lanskap pendidikan, termasuk dalam proses pembelajaran sejarah. Media sosial tidak lagi sekadar platform hiburan dan komunikasi, melainkan telah berevolusi menjadi sumber belajar alternatif yang mudah diakses. Berbagai platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok kini menawarkan konten sejarah yang interaktif, mulai dari dokumenter visual, kuis daring, hingga forum diskusi. Pemanfaatan media sosial sebagai sumber belajar mandiri diharapkan mampu melengkapi pendekatan konvensional dan memperkaya wawasan siswa dengan beragam perspektif sejarah. 

Keterbukaan diri (self-disclosure) merupakan kompetensi penting yang mencakup kesediaan siswa untuk menerima, mengevaluasi, dan mempertimbangkan informasi baru secara kritis. Dalam konteks sejarah, sikap ini krusial agar siswa dapat memahami peristiwa dari berbagai sudut pandang, menghindari bias, dan mempertajam kemampuan analisis. Siswa dengan keterbukaan diri yang tinggi cenderung lebih proaktif dalam mencari informasi, menguji validitas sumber, dan menghubungkan materi sejarah dengan konteks kontemporer, menjadikan proses belajar lebih bermakna dan relevan. 

Media sosial memiliki potensi besar sebagai platform edukasi sejarah. YouTube, misalnya, menyediakan akses ke dokumenter dan animasi interaktif, sementara Instagram memfasilitasi pembelajaran melalui infografik visual yang menarik. Di sisi lain, TikTok menawarkan konten sejarah yang singkat dan mudah dicerna, sangat sesuai dengan rentang atensi siswa. Selain itu, platform ini memungkinkan interaksi daring yang lebih dinamis antara siswa dan para ahli sejarah, melampaui keterbatasan pembelajaran konvensional yang seringkali hanya berpusat pada buku teks dan ceramah. 

Berdasarkan observasi dan wawancara pendahuluan di SMA Negeri 2 Magelang pada awal tahun 2025, siswa di sekolah ini dapat dikategorikan sebagai digital native yang mahir menggunakan media sosial dalam keseharian mereka. Namun, pemanfaatan platform ini untuk tujuan akademis, khususnya dalam pembelajaran sejarah, masih menunjukkan variasi signifikan. Misalnya, data awal survei menunjukkan bahwa sekitar 60% siswa telah menggunakan YouTube untuk mencari materi sejarah, tetapi hanya sekitar 30% yang secara rutin berinteraksi dengan konten edukasi di Instagram atau TikTok. Sisanya cenderung mengandalkan sumber konvensional seperti buku teks dan catatan guru. Disparitas ini menegaskan urgensi adanya bimbingan yang terstruktur agar siswa dapat mengoptimalkan media sosial sebagai alat bantu belajar yang efektif dan valid.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa siswa merasa media sosial memperluas cakrawala sumber belajar mereka di luar buku teks. Seorang siswa dari SMAN 2 Magelang, dalam wawancara, mengungkapkan, "Dulu, sejarah itu cuma dari buku, jadi terasa membosankan dan satu arah. Tapi setelah saya ikuti akun-akun sejarah di TikTok dan YouTube, banyak cerita yang ditampilkan dengan cara berbeda. Jadi penasaran dan saya cari lagi di Google atau buku lain." Pernyataan ini mengindikasikan bahwa format konten yang interaktif dan visual di media sosial (seperti video pendek atau infografis) berfungsi sebagai pembuka wawasan yang secara efektif memicu rasa ingin tahu. Alih-alih mendapatkan informasi yang pasif, siswa termotivasi untuk secara proaktif mencari dan membandingkan sumber informasi dari berbagai platform, menunjukkan langkah awal dalam membuka diri terhadap pengetahuan baru.  

Di abad ke-21 ini, ada sebuah tantangan dalam pendidikan sejarah. Banyak siswa menganggap pelajaran sejarah itu membosankan, kaku, dan hanya berisi hafalan. Padahal, kita hidup di zaman di mana informasi, termasuk sejarah, sangat mudah diakses melalui media sosial. Ini memunculkan pertanyaan penting: bagaimana cara membuat sejarah menjadi menarik dan relevan bagi generasi digital?

Jawaban dari masalah ini bisa jadi ada di media sosial, sesuatu yang sudah sangat akrab bagi siswa. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa SMA di Indonesia adalah pengguna aktif media sosial. Siswa masa kini, yaitu generasi milenial dan Gen Z, lebih suka belajar lewat konten visual dan interaktif yang bisa mereka akses di ponsel, bukan dari buku teks tebal.

Situasi ini adalah peluang besar, bukan ancaman. Dengan strategi yang tepat, media sosial bisa diubah dari sekadar hiburan menjadi alat pembelajaran sejarah yang kuat. Penelitian di SMAN 8 Bungo, misalnya, membuktikan bahwa media sosial membuat siswa lebih antusias belajar sejarah karena dianggap "menyenangkan dan segar". Penelitian lain juga menemukan bahwa video sejarah di media sosial mampu membuat siswa tertarik mengikuti cerita hingga akhir, bahkan memotivasi mereka untuk mencari informasi lebih lanjut.

Oleh karena itu, artikel ini akan menjelaskan strategi khusus untuk mengoptimalkan media sosial dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 2 Magelang. Strategi ini dibuat berdasarkan hasil berbagai penelitian dan prinsip pendidikan yang kuat, dengan tujuan membuat pelajaran sejarah lebih relevan, menumbuhkan kecintaan siswa pada sejarah, dan melatih kemampuan berpikir kritis serta literasi digital mereka.

eskipun media sosial menawarkan potensi besar sebagai alat pembelajaran, penerapannya tidak luput dari tantangan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa meskipun siswa yang memanfaatkan media sosial memiliki akses materi yang lebih fleksibel, interaktif, dan menarik dibandingkan mereka yang tidak, ada beberapa hambatan signifikan. Kendala-kendala tersebut meliputi ancaman hoaks sejarah, konten yang belum terverifikasi, keterbatasan fasilitas digital, dan tingkat literasi digital yang bervariasi di kalangan siswa. Di sisi lain, siswa yang hanya bergantung pada sumber cetak seperti buku teks cenderung memiliki motivasi belajar yang lebih rendah dan pemahaman yang kurang mendalam.

Untuk mengatasi tantangan ini, peran guru sejarah dan pihak sekolah menjadi sangat penting. Guru memiliki tanggung jawab untuk menyeleksi konten edukatif yang relevan dan membimbing siswa dalam mengevaluasi keabsahan sumber. Mereka juga harus memfasilitasi diskusi yang mendorong analisis kritis. Sementara itu, sekolah harus mendukung dengan menyediakan fasilitas memadai, seperti akses internet yang stabil dan lokakarya literasi digital. Pendampingan yang terstruktur ini krusial agar siswa dapat mengembangkan keterbukaan diri sambil meminimalkan risiko terpapar informasi yang salah atau distraksi digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun