SENIN, 7 April ini aku terima paket berupa buku Antologi Puisi Surabaya Post ‘Setelah Tanpa Deadline’. Buku yang berisi puisi karya 39 orang mantan awak media Harian Sore ‘Surabaya Post’ itu dikirim Imung Mulyanto, project officer buku kumpulan puisi tersebut.
“Minta alamatnya. Tak kirim bukune sebagai ucapan terima kasih,” tulis Imung di jejaring WhatsApp beberapa hari lalu.
Waktu menerima rilis terkait terbitnya buku ‘Setelah Tanpa Deadline’ yang dikirim Imung, aku menuangkan jadi tulisan di iniSurabaya.com. Tak tanggung-tanggung. Karena cukup panjang, rilis tersebut aku split jadi tiga berita.
Bukan tanpa alasan jika aku mengeksplorasi unjuk karya para mantan wartawan SP (Surabaya Post) ini sampai jadi tiga tulisan terpisah. Bagiku, ini juga wujud apresiasi terhadap mereka –terutama teman-teman wartawan—yang terus berkarya di luar aktivitas mereka sebagai jurnalis.
Di sisi lain. Banyak kenanganku bersama sosok-sosok di SP. Gak cuma teman liputan, tetapi juga nongkrong. Di antaranya yaitu Gimo, Tavip, dan Ali Akbar.
Terutama Gimo yang sering barengan liputan ‘night life’. Bersama Jatmiko, wartawan Harian Memorandum –sekarang sudah jadi pemimpin redaksi—kami bertiga sering barengan berburu artis ibukota yang kebetulan sedang show di sejumlah klab atau pub di Kota Pahlawan ini.
Kantor SP di Jl Taman Ade Irma Suryani Nasution (bundaran Bambu Runcing) itu juga ‘strategis’ jadi tempat cuci mata yang mengasyikkan, karena ada mbak-mbak yang ‘mejeng’ di ujung Jl Embong Tanjung itu begitu waktu beranjak malam.
Saat waktu menginjak angka 22.00an, kami bertiga bergeser ke lokasi target. Bisa ke Kowloon, Kantor, Studio East, Desperados, LCC, Colors Pub & Restaurant, 360, Coyote, atau paling dekat menyeberang ke Qemi (di Hotel Elmi).
Rutinitas itu berlangsung di kisaran tahun 1998-2012an. Kegiatan yang kami yakini tak ada jurnalis di era digital ini yang mewarisinya –liputan sampai lewat tengah malam bahkan menjelang dini hari.
Kembali ke ‘Setelah Tanpa Deadline’. Buku setebal 300 halaman dan diterbitkan Meja Tamu Sidoarjo ini tentu juga sangat istimewa. Apalagi ada karya almarhum pak A Azis –pendiri SP—di buku tersebut, yaitu ‘Djandji’, ‘Djiwa Moeda’, dan ‘Bersatoelah!’.
Ternyata sebagai wartawan pejuang di tahun 1945, Azis juga menulis puisi, cerpen, dan naskah sandiwara. “Karya pak Azis mendapat pujian dari Usmar Ismail dan para sastrawan di masa itu,” ungkap Imung.