Mohon tunggu...
Achmad Pramudito
Achmad Pramudito Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Pemerhati seni budaya, dunia pendidikan, dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Klitih Jadi Budaya, Kita Bisa Apa?

8 April 2022   05:53 Diperbarui: 8 April 2022   09:18 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Aksi massa yang anarkhis ini makin mengkhawatirkan karena dianggap sudah biasa.

KLITIH......jadi viral belakanganBahkan sampai bikin Sri Sultan Hamengkubuwono X gerah dan minta pelakunya, meski anak-anak diproses melalui jalur hukum! Fenomena Klitih ini, tak hanya ada di Yogyakarta.
Saya lalu teringat, sekitar 10 tahun lalu saya mendapat cerita dari teman di Jakarta anaknya baru masuk rumah sakit karena terluka parah akibat berkelahi dengan teman2nya.

Seperti Klitih: perkelahian mereka bisa terjadi kapan saja. Dimana saja. Dan pelakunya adalah REMAJA, usia SMP-SMA.
Juga bukan perkelahian biasa, dengan tangan kosong. Di tangan masing-masing anak ini selalu ada senjata tajam, bisa pisau, celurit dan sejenisnya. Atau sekedar batu yg diambil dari jalanan. Wajar jika kemudian ada yang sampai terluka parah dan memerlukan perawatan di rumah sakit.

Herannya, sekali lagi : HERANNYA, sang orangtua menganggap itu BIASA! Perkelahian antar anak remaja itu biasa. Bahkan sampai ada yg jadi korban meninggal sekali pun!

"Itu sudah tradisi kok! Sudah sering kejadian begitu." Jawaban teman saya ini bikin saya miris.

Merunut kondisi di Surabaya sekitar 40-45 tahun lalu, saat saya masih SMA. Pun sama. Murid-murid SMA Negeri 4, SMA Negeri 6, dan STM Pembangunan (sekarang namanya SMK Negeri 5) dikenal doyan tawuran.

Di SMA Kompleks (Jl Wijaya Kusuma, Surabaya) yang sering terlibat perkelahian massal ini adalah SMAN 11 (saat masih gabung dengan SMAN 1) dengan SMAN 9. Dua sekolah ini memang berdampingan, dan hanya dipisah dinding kelas.


Jalanan di kawasan Jl Pemuda (sekarang Jl Gubernur Suryo) serta sepanjang jalan di antara sekolah-sekolah tersebut bisa jadi ajang perkelahian massal tersebut. Bedanya, ketika itu, tanpa senjata tajam. Tangan kosong, paling saling lempar batu atau benda-benda keras lainnya.

Perang gengsi: itulah alasan yang biasanya memicu aksi tawuran di puluhan tahun lalu. Karena --yang umum terjadi adalah, diantara anak2 geng sekolah itu ada anak pejabat yang bossy dan berusaha mengusik kelompok pelajar dari sekolah lainnya. Ini pula yang membuat kasus-kasus perkelahian massal ini selalu berlalu begitu saja.

Berulang ketika rasa gengsi terusik, atau dari kelompok yang punya 'bos' anak pejabat ini ingin menunjukkan prestisenya dibanding anak-anak dari sekolah lainnya. Dan tidak ada tindakan apa-apa dari aparat karena dianggap 'hanya' kenakalan remaja. Itu biasa!

Juga tak ada tindakan dari aparat, meski ada yang terluka, karena yang sering terjadi adalah melibatkan anak pejabat, atau malah anak-anak dari aparat itu sendiri. Sehingga kasus-kasus seperti ini selalu berlalu begitu saja, dan tentu akan berulang.

Alhamdulillah, seiring berjalan waktu, kondisi di Surabaya makin kondusif. Para pelajar pilih fokus belajar ketimbang terlibat tawuran. Perkelahian massal antar pelajar di sekolah-sekolah tersebut tak lagi terdengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun