Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature

Memahami Perdagangan Karbon

16 Juli 2021   10:30 Diperbarui: 16 Juli 2021   11:03 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sewaktu kuliah di Institut Pertanian Bogor (sekarang IPB University) sampai lulus tahun 1977-1981, saya belum pernah mendengar, membaca apalagi mendalami istilah perdagangan karbon (carbon trade).  Hanya saja dalam mata kuliah Klimalogi pernah diajarkan tentang teori efek rumah kaca (green house efek) yakni apabila gas carbon yang berlebihan akan mengancam lapisan ozon bahkan dapat melubangi lapisan tersebut. Apabila lubang lapisan ozon terjadi, maka akibatnya dapat fatal karena akan menaikkan suhu bumi secara global. 40 tahun kemudian, yakni tahun 2020 pemanasan iklimpun terjadi (global warming). Lapisan es dikutub utara meleleh akibat kenaikan suhu bumi sampai dengan 2 derajad Celsius.  Negara-negara maju yang sekaligus menjadi negara-negara industri maju berteriak-teriak agar jumlah emisi karbon yang dihasilkan akibat dari efek rumah kaca dapat ditekan dan diturunkan. Sumber emisi global yang menghasilakan karbondioksoda (CO2) terbesar adalah kebakaran hutan, penggunaan gas alam, kilang minyak, pembakaran batu bara, dan kendaraan bermotor. Lalu bagaimana kaitannya dengan perdangan karbon ?

Perdagangan karbon diartikan sebagai skema dimana terjadi aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki potensi sumberdaya alam yang mampu melakukan penyerapan emisi karbon alami, seperi negara-negara tropis yang mempunyai hutan alam tropika basah seperti Indonesia, Brazilia dan seterusnya. Negara-negara berkembang yang masih memiliki karbon kredit yang banyak dibandingkan dengan negara industri bisa menjual karbon kreditnya kepada negara yang memproduksi emisi. Jadi sebenarnya ini hanyalah jual beli diatas kertas belaka. Ini adalah sistem pay of performance bukan sistem jual beli dimana ada komitmen uang langsung ada. Negara yang membeli karbon kredit dari Indonesia akan melihat apakah dalam beberapa tahun yang dikomitmentkan benar-benar dapat menurunkan emisi karbon.

Indonesia sendiri sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antar negara. Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon ini yang nilainya berkisar antara 82 miliar sampai 100 miliar dollar AS. Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.

Pengalaman menarik diperoleh dari masyarakat yang mendiami desa-desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2018, mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo. Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektare atau 1,052 ton setara CO2 per hektare. "TUI Airways hanya membeli 6.000 ton. TUI Airways, perusahaan penerbangan di Eropa. Perusahaan ini membayar US$ 36 ribu (sekitar Rp 400 juta) untuk  6.000 ton cadangan karbon (carbon sink) dari kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba).

Perdagangan karbon mempunyai indikasi bermotif bisnis dan yang menikmati bukan alam dan mereka yang hidup di sekitar alam. Disamping itu, berpotensi memberikan celah bagi perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif untuk tidak benar-benar secara serius menurunkan emisi gas buang. Padahal, mereka seharusnya dapat mentransformasi bisnisnya dari energi tak ramah lingkungan ke energi baru terbarukan (EBT). Namun dengan adanya karbon kredit, sektor industri dapat leluasa mengompensasi, membayar sejumlah uang tanpa harus repot-repot menjaga emisi gas buang yang dikeluarkan. Perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif akan terus melanjutkan aktivitasnya, terus menghasilkan emisi dengan membeli karbon di tempat lain. Sebaiknya pemerintah harus hati-hati dalam melegalkan aturan perdagangan karbon ini, kalau tujuannya  hanya demi mencari keuntungan semata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun