Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Dinamika Luas Hutan

19 Mei 2021   12:33 Diperbarui: 19 Mei 2021   12:38 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagi mahasiswa fakultas kehutanan IPB era tahun 70 -- 80'an, pasti hapal mati diluar kepala bahwa luas hutan di Indonesia adalah 122 juta hektar. Dari seluas itu, tidak kurang dari 30 juta ha merupakan kawasan hutan yang tidak produktif, rusak, terlantar dan kritis. Belum lagi, kawasan hutan hutan yang telah dialih fungsikan menjadi lahan transmigrasi, pekerbunan dan pencetakan sawah baru. Hanya karena luas kawasan hutan yang dialih fungsikan jumlah relatif kecil dan tidak masif dibandingkan dengan luas hutan secara total maka prosentase luasnyapun dapat diabaikan.

Sampai dengan awal tahun 2000'an data luas hutan di Indonesia masih belum diupdate dengan data baru dan terakhir tahun 2018 terbit secara resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), data luas hutan di Indonesia secara hukum (de jure) yakni seluas 125,2 juta hektar. Rinciannya adalah terdiri dari 29,1 juta ha sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta ha sebagai kawasan hutan produksi terbatas, 29,5 juta ha sebagai kawasan hutan lindung, 27,3 juta ha sebagai kawasan hutan konservasi, dan 12,8 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi. Dengan telah terbitnya peraturan pemerintah (PP) no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan yang menggabungkan antara hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas maka rincian luas kawasan hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya berubah menjadi hutan konservasi 27,3 juta ha, hutan lindung 29,5 juta ha, hutan produksi biasa 55,8 juta ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 12,8 juta ha. Dari seluas hutan itu, luas hutan yang telah mengalami degradasi diperkirakan 30 persen atau sekitar 34 juta hektare, meski validitasnya masih jadi perdebatan. Sedangkan kawasan hutan yang mengalami deforestasi  merujuk Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK 2020-2124, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta ha (2018), yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 ha , hutan lindung 2.379.371 ha , hutan produksi 5.109.936 ha, kawasan lindung pada areal penggunaan lain (APL) 2.234.657 ha, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 ha. Sedangkan laju penambahan deforestasi setiap tahun rata-rata 500.000 ha.

Seiring dengan lajunya pembangunan di Indonesia yang begitu pesat di Indonesia serta meningkatnya jumlah penduduk setiap tahunnya, maka kebutuhan akan lahan hutan yang terus meningkat. Seharusnya data luas kawasan hutan setiap periode waktu tertentu perlu senantiasa diupdate validitasnya sekaligus diberikan penjelasan  alasan perubahannya sehingga masyarakat luas dapat mengetahui ujung pangkalnya. Sesungguhnya, masyarakat juga sadar bahwa luas data hutan di Indonesia senantiasa dinamis dan selalu berubah datanya. Beberapa data luas hutan yang telah berubah dan perlu penjelasan lebih lanjut adalah :

Pertama, Luas kawasan hutan di Indonesia dari 122 juta ha bertambah menjadi 125,2 juta ha.  Penambahan luas hutan 3,2 juta ha, diduga karena adanya penambahan dan pengesahan kawasan hutan konservasi baru, khususnya Taman Nasional (TN) dibeberapa daerah. Misalnya TN Gunung Merapi yang ditetapkan  pada 4 Mei 2004, melalui surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 134/2004 seluas 6.410 ha. Atau TN Wakatobi yang ditetapkan pada tahun 2002, dengan total area 1,39 juta ha. Lantas, muncul pertanyaan, bagaimana TN yang wilayahnya didominasi oleh perairan seperti TN Wakatobi, TN Bunaken, TN Taka Bonerate, TN Teluk Cendrawasih dan lainnya, apakah wilayah perairannya juga dimasukkan sebagai wilayah kawasan hutan? Kasus-kasus semacam ini sebaiknya mendapat penjelasan yan transparan dari KLHK.

Kedua, disisi lain sejak tahun era orde baru hingga sekarang telah terjadi alih fungsi lahan hutan seluas 6,7 juta ha. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pelepasan kawasan tersebut pada era Soeharto seluas 3,4 juta ha, Habibie  678.373 ha, era Abdurrahman Wahid 163.566 ha, Megawati 0 ha, Susilo Bambang Yudhoyono 2,2 juta ha dan era Joko Widodo 305.984 ha. Alih fungsi kawasan hutan adalah proses berubahnya pelepasan kawasan hutan untuk menjadi kawasan non hutan untuk tujuan pembangunan lainnya. Dengan demikain luas hutan 6,7 juta ha harus dikeluarkan dari angka 122 juta, karena proses alih fungsi lahan telah dilaksanakan sejak era orde baru. Pertanyaan berikutnya adalah apakah angka 6,7 juta ha yang nota bene berasal dari hutan produksi yang dapat dikonversi masuk/diluar dari angka luas hutan produksi yang dapat dikonversi 12,8 juta ha.

Ketiga, kasus Tata Ruang Provinsi Kalteng atau provinsi lainnya yang belum final pengaturan dan pengesahannya sampai saat ini, akibat tarik menarik kepentingan antar pusat dan daerah menjadi pelajaran yang berharga dan harus segera dituntaskan penyelesainnya. Tata Ruang Provinsi Kalteng menjadi rumit karena saat terjadi penyusutan luasan Area Penggunaan Lain (APL) dari 37% berdasarkan Perda No 8 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalteng menjadi sekitar 18% sebagai konsekuensi lahirnya SK 529/Menhut II/2012. Untuk daerah provinsi yang kawasan didominasi oleh lahan hutan seperti Kalteng, Riau, Kaltim, Papua dan Papua Barat.  APL merupakan amunisi bagi daerah untuk membangun sektor non kehutanan, tanpa harus mengajukan proses alih fungsi hutan dan pelepasan kawasan hutan kepusat (KLHK) yang selama ini dilakukan dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Pengajukan alih fungsi nlahan hutan dapat diterima, diterima sebagian dan bahkan ditolak seleruhnya oleh KLHK. Sedangkan APL merupakan kewenangan penuh pemerintah daerah untuk dimanfaatkan apa saja, meskipun kondisi dilapangan masih berbentuk tutupan hutan.

Keempat, dengan adanya pembangunan lumbung pangan/ketahanan pangan  (food estate) yang sedang gencar-gencarnya dilaksanakan dibeberapa daerah seperti di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, Kalteng, Kabupaten Merauke, Papua, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut, Kabupaten Sumba Tengah dan Belu NTT, sembilan daerah Kabupaten di Sumsel atau daerah provinsi lainnya, yang membutuhkan lahan kawasan hutan dengan mekanisme alih fungsi lahan dan pelepasan kawasan hutan, harus dicatat dan dikeluarkan oleh KLHK sebagai pengurangan dari luas kawasan hutan, khususnya fungsi kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan atau hutan produksi biasa (PP no. 23/2021 pasal 58 ayat (4c)).

Kelima, rencana pembangunan ibukota negara (IKN) baru di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim yang membutuhkan lahan kawasan hutan yang sangat luas. Saat menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, kawasan induk ibu kota baru akan berdiri di atas lahan seluas 40.000 hektar. Luas wilayah ini nantinya bisa dikembangkan menjadi 180.000 hektar dari tanah yang dimiliki pemerintah di sana. Ini berarti terdapat 120.000 ha lahan yang sebagian besar lahan tersebut adalah kawasan hutan yang harus dialih fungsikan dan dilepaskan kawasan hutan menjadi kawasan non hutan. Pengurangan luas kawasan hutan tersebut yang mungkin juga akan disusul dan ditambah dengan kawasan hutan lainnya, sudah seharusnya dicatat KLHK sebagai angka pengurangan dari luas hutan yang ada sekarang.

Keenam, undang-undang (UU) Cipta Kerja no. 11/2020 bidang kehutanan dan PP no. 23/2021 tentang penyelenggaran kehutanan memberikan keleluasan pemerintah (KLHK) untuk menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan berdasarkan kondisi fisik dan geografis pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional. Bagi daerah provinsi yang mempunyai penduduk yang padat atau cukup padat seperti P. Jawa dan P. Sumatera, terdapat suatu kencenderungan bahwa kecukupan luas kawasan hutannya khususnya hutan produksi akan terus menyusut karena digerus untuk kepentingan pembangunan non kehutanan, misalnya untuk pembangunan jalan tol, food estate, perkebunan,  pusat-pusat industry pertanian/perkebunan dan sebagainya. Penyusutan luas hutan ini juga harus dicatat sebagai pengurangan data luas hutan secara keseluruhan oleh KLHK.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun