HUTAN LINDUNG Â VS Â FOOD ESTATE
Kontroversi  food estate dihutan lindung belakangan ini menjadi kontroversi karena banyak pihak yang mempersoalkan,- terutama penggiat lingkungan dan kehutanan- karena berpotensi meningkatkan deforestasi.Â
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagai institusi yang mengeluarkan peraturan menteri LHK P.24/2020 Â yang membolehkan food estate dalam hutan lindung, melalui Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, berkilah bahwa kawasan hutan lindung yang digunakan untuk pembangunan food estate tidak sepenuhnya berfungsi lindung yaitu dalam keadaan terbuka/terdegradasi/sudah tidak ada tegakan hutan.Â
Dengan food estate, akan memulihkan hutan dengan pola kombinasi tanaman hutan dengan tanaman pangan, ternak dan perikanan (pola agroforestry, silvipasture, wanamina). Tanaman hutan dengan berbagai kombinasi itu akan memperbaiki fungsi hutan lindung (Kompas, 17 November 2020).
Esensi pemanfaatan hutan lindung adalah pemanfaatan kawasan hutan yang tidak mengurangi fungsi utama hutan dan dengan tidak  mengambil hasil hutan berupa kayu, seperti budidaya jamur,  penangkaran satwa, dan  budidaya tanaman obat dan tanaman hias.Â
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti  pemanfaatan untuk wisata alam,  pemanfaatan air, dan pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.Â
Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti  mengambil rotan,  mengambil madu, dan  mengambil buah. (Penjelasan pasal 26 ayat (1) UU 41/1999).Â
Lalu pertanyaannya, ,dimana food estate ditempatkan dalam pemanfaatan hutan lindung ?. Pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan atau pemungutan hasil hutan bukan kayu ?. Rasa-rasanya, food estate bukan termasuk dalam ketiga katagori tersebut (paradoks 1).
PP. no. 6/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan pasal 20 ayat (1b) menegaskan bahwa rehabilitasi hutan pada kawasan hutan lindung, ditujukan untuk memulihkan fungsi hidrologis DAS dan meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan.Â
Rehabilitasi hutan diselenggarakan antara lain melalui kegiatan reboisasi intensif atau agroforestri. Reboisasi agroforestri dilakukan pada lahan kritis dengan tutupan lahan terbuka, semak belukar, kebun, kebun campuran, pertanian lahan kering dan terdapat aktivitas pertanian masyarakat.Â
Dari penjelasan KLHK tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan food estate dalam hutan lindung akan melegalkan perambahan hutan dalam kawasan hutan lindung yang selama ini memang telah marak terjadi (paradoks 2).Â