HUTAN TANAMAN
Hutan tanaman, selain hutan tanaman rakyat (HTR) dan hutan tanaman hasil rehabilitasi (HTHR) yang sudah dikenal luas adalah hutan tanaman industri (HTI). HTI dibangun untuk menjawab tantangan industri kehutanan yang berkembang pesat ditanah air akibat larangan eksport kayu log pada era tahun 1990"an.Â
Bayangkan, tahun 2000 merupakan puncaknya produksi kayu dari hutan alam ,untuk kayu gergajian (sawn timber) dan kayu lapis (veneer) yang dipasok dari sekitar 600 hak pengusahaan hutan (HPH) dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta ha. Produksi kayu dari hutan alam mulai menurun sejak tahun 2005 dan turun ketitik nadir sejak ditetapkannya moratorium permanen hutan alam tahun 2019 lalu. Pasokan kayu dari hutan alam sekarang hanya bertumpu pada HPH yang tinggal tersisa 255 unit, dengan luas usaha 18,7 juta ha.
HTI yang menjadi harapan untuk mengganti pasokan kayu dari hutan alam belum mampu mengimbanginya. Izin konsesi HTI 293 unit seluas 11.3 juta ha yang ada sekarang, tidak sebanding dengan luas pengurangan luas HPH yang cukup drastis yakni 45,3 juta ha. Kondisi ini, dapat dipahami karena membangun HTI ternyata tidak mudah baik dari aspek teknis, sosial, permodalan, dan SDM.Â
Hanya korporasi besar seperti Barito, Sinar Mas yang siap dan berhasil membangun HTI. Itupun, baru sukses membangun HTI dengan jenis vegetasi kayu yang berdaur pendek 5 -- 10 tahun untuk keperluan industri bubur kayu (pulp). Lambatnya progres pembangunan HTI yang dikembangkan sejak tahun 1990 dikarenakan:Â
pertama, kawasan hutan tidak produktif, biasanya telah dirambah oleh masyarakat dalam bentuk kebun, atau kepentingan lainnya.Tidak ada kepastian lahan hutan menyebabkan sering terjadi konflik kawasan (masalah tenurial).Â
Kedua, untuk membangun HTI membutuhkan permodalan yang besar. Satu ha tanaman vegetasi membutuhkan biaya antara Rp 40 -90 juta setiap ha. Pada awalnya permodalan HTI dapat dibantu melalui pinjaman lunak dari dana Reboisasi (DR), namun sering dengan banyak terjadinya penyelewengan, kebijakan ini telah lama dihentikan.Â
Ketiga, selain ketidak berhasilan tumbuh tanaman sampai dengan usia daur tebang, momok utama yang menakutkan adalah kebakaran. Kementerian Kehutanan pernah meluncurkan gagasan untuk mengasuransikan HTI agar terjadi kepastian berusaha, namun perusahaan jasa asuransi kurang berminat, karena tenggang waktunya lama dan resiko kebakaran sangat tinggi.
Pemerintah cq KLHK mencoba membuat kebijakan baru untuk mendobrak kemandekan operasi pemegang konsesi HTI ini. Pemegang konsesi HTI dapat diberikan izin usaha industri hasil hutan kayu pada areal kerjanya. Pemegang konsesi HTI yang menghasilkan produk samping berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK), dapat diberikan ijin usaha industri pengolahan HHBK. Menarikkah kebijakan semacam ini. Kita tunggu saja.
PRAMONO DWI SUSETYO