Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Akurasi Data Hutan

1 April 2020   15:10 Diperbarui: 1 April 2020   15:17 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Isu tentang data hutan sudah terjadi cukup lama sejak diizinkannya Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri ( PMDN) mengelola hasil hutan kayu dari hutan alam tropika basah Indonesia, tahun 1967. Data hutan di Indonesia dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, secara de jure, luas hutan dilihat dari aspek hukum berdasarkan undang undang, tanpa memperhatikan lahan kritis, lahan bekas kebakaran, lahan deforestasi dan sebagainya yang terdapat dalam kawasan hutan. Kedua, secara de facto, luas hutan didasarkan pada fakta yang ada dilapangan, yang sedang dipermasalahkan Greenpeace Indonesia  tentang tutupan hutan kian berkurang selama pemberlakuan kebijakan moratorium pemberian izin baru di hutan alam primer dan gambut, meskipun perlu diverifikasi dan validasi akurasinya (Kompas, 9 Agustus 2019).

Kendati telah dilakukan moratorium, wajar kiranya tutupan hutan akan selalu berkurang karena banyak hal. Kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang di"sakral"kan untuk tidak diganggu gugat oleh manusia, nyata banyak yang dibobol dan dijarah padahal telah dilindungi oleh UU no. 41/1999 dan UU no. 5/1990 yang tingkatnya lebih tinggi dari sekedar Inpres atau Perpres. Greenpeace mencatat, deforestasi dihutan lindung diarea moratorium (2012-2018, 1,2 juta ha) lebih tinggi dibanding sebelum moratorium (2005-2011, 800 ribu ha).

Menurut PP no. 62 /1998, pengelolaan hutan dilindung diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan pengelolaan taman hutan raya diserahkan kepada pemerintah daerah provinsi dan menurut UU no. 23/2014 tentang otonomi daerah kedua urusan hutan lindung dan taman hutan raya diserahkan kepemerintah provinsi.  Oleh karena itu, dengan atau tanpa moratorium, deforestasi dihutan lindung akan terus terjadi dengan skala yang masif dan sulit dikendalikan.

Pemda kabupaten/kota maupun provinsi tidak mempunyai perangkat, SDM dan anggaran yang memadai. Yang perlu dicermati adalah hutan alam primer 33,3 juta ha dan hutan gambut 6,5 juta ha yang belum terlindungi, perlu diperjelas masuk dalam kawasan hutan apa? konservasi, lindung, atau produksi. Bila masuk dalam kawasan hutan produksi juga harus dipilah produksi tetap, terbatas atau dapat dikonversi.

Sebagai mantan rimbawan, saya sepakat  dengan Walhi bahwa untuk menekan emisi drastis, satu satunya cara adalah mengurangi deforestasi (perlindungan hutan) dan penamanan kembali (Kompas,10 Agustus 2019).  Moratorium adalah salah satu cara menekan deforestasi yang menurut Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan KLHK dapat ditekan dan turun 38 persen dengan adanya moratorium. 

Bagaimana dengan penanaman kembali (reforestasi, reboisasi)  yang telah dilakukan KLHK sejak lebih dari 40 tahun lalu (terbitnya Inpres Reboisasi dan Penghijauann,1976), berapa tutupan hutan hasil reforestasi yang berhasil sampai saat ini belum pernah dipublikasikan. Atau berapa luas hasil reboisasi yang berhasil dari penanaman hutan lindung pada hulu 40 DAS super prioritas dan prioritas. Pada era keterbukaan informasi sekarang, perlu kiranya kita ketahui.

Pramono Dwi Susetyo

(Tulisan ini dibuat tahun 2019 lalu)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun