"Bagaimana kita bisa cinta dan bangga akan tanah kelahiran kita jikalau tidak ada upaya untuk mencari tahu segala seluk beluk kekhasan yang dimilikinya?"
Lahir dan besar di Kota Ungaran, sebuah kota kecil yang berada di selatan Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah. Ungaran sebagai ibukota Kabupaten Semarang mungkin saja tidak seterkenal Ambarawa maupun Salatiga yang yang seringkali dibahas di ruang kelas tentang sejarah yang menyertainya. Meskipun demikian kenyataannya, saya sebagai "Cah Ngaran" (Anak Ungaran), tidak akan tinggal diam. Saya tidak akan mengaku sebagai orang Semarang ketika ditanya oleh siapapun nanti ketika berada di luar kota, dengan bangga saya akan menjawab sebagai orang Ungaran, meski harus menjelaskan lebih tentang kota kecil ini. Pertanyaannya, bagaimana saya bisa menjelaskan jika saya tidak tahu menahu tentang sejarah atau mungkin ikon unik yang menjadi kekhasan kota ini?
Srawung Benteng, Diskusi Budaya di Benteng Ungaran
Kini, Benteng Ungaran atau Benteng Willem II, dulu disebut juga dengan Fort de Ontmoeting difungsikan sebagai Balai Pertemuan Polisi dan Masyarakat, namun pada tanggal 23 -- 25 Mei 2025 lalu ada yang berbeda. Sanggar Kertapati bekerja sama dengan pemerintah setempat dan pihak-pihak terkait lainnya menggelar sebuah acara berkualitas dan edukatif. Mengativasi kembali ruang publik untuk sebuah kegiatan hiburan namun juga sarat akan nilai-nilai pendididikan di dalamnya. Pameran sejarah, diskusi budaya, lomba sketsa bangunan bersejarah, workshop kartografi, walking tour bangunan bersejarah di Ungaran, hingga panggung seni. Momen ini benar-benar saya manfaatkan untuk menemukan jawaban dari rasa penasaran yang nantinya menjadi bekal dan juga menambah kecintaan saya terhadap Kota Ungaran.
Saksi Bisu Keperwiraan Pangeran Diponegoro
Diskusi budaya berlangsung di hari pertama dalam rangkaian kegiatan. Menghadirkan narasumber (Bapak Supriya Priyanto, Saudara Rendra Agusta, dan Bapak Krisprantono), sesuai dengan bidang keilmuan yang menjelaskan tentang bagaimana sejarah benteng Ungaran hingga telaah arsitektur bangunan benteng. Saya rasa, bergabung dalam diskusi budaya ini merupakan langkah yang tepat untuk mengetahui seluk beluk Kota Ungaran dan sejarah yang menyertainya sehingga dengan ini akan memantik rasa bangga akan kota yang menjadi tempat kelahiran saya.
Ada suatu momen yang membuat saya termangu, yakni ketika narasumber menceritakan tentang bagaimana Benteng Ungaran pernah difungsikan dan juga rekaman sejarah apa yang pernah tercipta. Ternyata, Pangeran Diponegoro sempat singgah di tempat ini, kurang lebih sekitar dua belas jam.
Perang Jawa berakhir ketika Jenderal De Kock dengan siasatnya menjebak Pangeran Diponegoro dalam sebuah perundingan di Magelang. Pangeran Diponegoro selanjutnya melakukan perjalanan sebagai tawanan dari Magelang menuju Semarang dan dikawal oleh Mayor De Stuers dan Kapten Roeps serta pasukan kavaleri Belanda. Pangeran Diponegoro diangkut dengan tandu saat melewati pegunungan dan kemudian dari Jambu ke Ungaran dilanjutkan dengan kereta kuda.
Setibanya di Ungaran, Pangeran Diponegoro singgah di Benteng Ungaran. Di Benteng Ungaran, Pangeran Diponegoro meminta izin untuk mengambil air wudlu dan menunaikan sholat magrib. Di Benteng Ungaran, Pangeran Diponegoro diundang untuk makan malam bersama oleh Komandan benteng dan kemudian beristirahat di sebuah ruangan yang cukup sempit. Pada penjelasan ini, Bapak Supriya Priyanto, menunujukkan pula ruangan tempat Pangeran Diponegoro beristirahat. Saya benar-benar terkejut melihat ruangan itu, sempit.
Dalam kisah sejarah yang disampaikan, saya mencoba membayangkan bagaimana suasana yang terjadi pada saat itu, bagaimana pula suasana hati Sang Pangeran. Betapa pilunya saat-saat Sang Pangeran dijebak dan menjadi tawanan. Bagaimana perasaan beliau pada saat mengambil wudlu dan menunaikan sholat magrib sebagai tawanan sebelum dibawa ke Batavia untuk menjalani pengadilan, dan diasingkan di Manado lalu dipindah ke Makassar hingga akhir hidup beliau. Rasanya ada sebuah pelajaran yang menunjukkan keperwiraan seorang Pangeran Diponegoro, yakni tentang sabar, ikhlas, dan rela hati. Meski begitu, semangat perlawanan terhadap penjajah begitu terasa.
Menghadiri acara Srawung Benteng ini menambah wawasan saya tentang bagaimana sejarah yang pernah terekam di Kota Ungaran. Benteng Ungaran menjadi ikon yang rasanya patut untuk diangkat dan menjadi kebanggaan. Ada sebentuk cinta yang terwujud dari upaya mengenal, meresapi makna, hingga upaya menjaga. (prp)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI