Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Betulkah dan Mengapa China Tak Ingin Rusia Menang Mutlak?

3 Juli 2025   10:13 Diperbarui: 3 Juli 2025   10:13 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
China dan Taiwan (Sumber/Kredit Foto: ABC News)

Perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada bulan Februari 2022 telah menjadi titik balik dalam geopolitik global. Dalam konflik bersenjata ini, banyak negara telah memperlihatkan dengan jelas posisi dan keberpihakan mereka. Namun satu negara, China, justru memainkan strategi diplomatik yang jauh lebih hati-hati dan terukur.

Meskipun Beijing terlihat erat dengan Moskwa, baik melalui retorika maupun kerja sama ekonomi, banyak analis percaya bahwa China sebenarnya tidak menginginkan Rusia menang secara mutlak dalam perang ini. Mengapa demikian? Pandangan ini mengemuka dalam sejumlah laporan media dan think tank, termasuk Politico, yang menyebutkan bahwa kemenangan absolut Rusia justru akan merugikan posisi strategis China dalam jangka panjang.

Pola Hubungan Strategis China--Rusia

China dan Rusia telah menjalin hubungan yang semakin erat sejak awal abad ke-21, terutama setelah keduanya merasa ditekan oleh tatanan dunia yang didominasi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Sejak sanksi terhadap Rusia diberlakukan pasca-aneksasi Crimea pada tahun 2014, Rusia semakin bergantung pada pasar China untuk perdagangan energi, senjata, dan teknologi. Sebaliknya, China memanfaatkan Rusia sebagai penyeimbang terhadap tekanan strategis dari Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara/North Atlantic Treaty Organisation (NATO) di kawasan Asia Pasifik.

Namun, hubungan antara Rusia dan China ini bukanlah aliansi formal seperti NATO. China tidak pernah secara eksplisit menyatakan dukungan militer terhadap operasi Rusia di Ukraina, dan tetap menjaga hubungan ekonomi dengan negara-negara Eropa. Dalam banyak forum internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), China memilih abstain dalam pemungutan suara yang mengecam Rusia. Ini menandakan pendekatan "ambiguitas strategis" yang digunakan China untuk menjaga ruang gerak diplomatiknya.

Presiden Vladimir Putin dan Presiden Xi Jinping (Sumber/Kredit Foto: Universidad de Navarra)
Presiden Vladimir Putin dan Presiden Xi Jinping (Sumber/Kredit Foto: Universidad de Navarra)

Mengapa China Tak Ingin Rusia Menang Mutlak?

Dalam laporan eksklusifnya yang terbit 1 (satu) hari setelah invasi skala penuh Rusia terhadap Ukraina, Politico menyatakan bahwa para pejabat di Beijing memandang bahwa kemenangan mutlak Rusia di Ukraina bisa menjadi bumerang bagi kepentingan jangka panjang China. Pertama, kemenangan Rusia akan memperkuat kembali posisi Moskwa sebagai kekuatan dominan di Eropa Timur, yang bisa menciptakan ketidakseimbangan dalam kemitraan strategis antara kedua negara. Dengan kata lain, China lebih diuntungkan jika Rusia tetap lemah dan bergantung secara ekonomi serta diplomatik kepada Beijing.

Kedua, jika Rusia berhasil menang telak dan mengganti rezim di Kyiv, ini akan memicu peningkatan persatuan dan persenjataan NATO yang justru merugikan China. Dalam logika geopolitik Beijing, keseimbangan kekuatan global lebih mudah dikelola saat terjadi stagnasi, bukan dominasi. China ingin agar Eropa tetap sibuk dengan Rusia, bukan justru memiliki ruang untuk menekan China dalam isu Taiwan dan Laut China Selatan.

Ketiga, Beijing sangat memperhatikan stabilitas global dan ekonomi. Perang yang berkepanjangan memang telah menciptakan peluang baru bagi ekspor China ke Rusia, tetapi pada saat yang sama juga mengganggu pasar global, termasuk logistik, komoditas, dan energi. Kemenangan mutlak Rusia berpotensi memperluas zona konflik atau menciptakan rezim klien Rusia di Ukraina, yang bisa memicu sanksi lebih luas dan memperburuk ketegangan global.

Akan tetapi, ada juga pendapat analis yang mengatakan bahwa jika Rusia menang mutlak dalam perang melawan Ukraina, maka hal ini akan membuat China lebih berani untuk menyerang Taiwan, sesuai dengan ambisi China untuk unifikasi China dengan Taiwan, sekalipun dengan kekuatan militer.

Pandangan yang Berbeda: China Ingin Rusia Menang Mutlak

Pendapat tersebut memang banyak dikemukakan oleh para analis hubungan internasional, terutama dari kalangan strategis Barat. Argumennya berpijak pada logika deterrence: jika Rusia berhasil menang atas Ukraina, meskipun mendapat tekanan dan adanya dukungan internasional yang besar bagi Ukraina, maka hal itu bisa dianggap sebagai bukti bahwa koalisi demokrasi Barat (Amerika Serikat dan sekutunya) tidak cukup kuat atau tidak cukup berkomitmen untuk menghentikan agresi militer oleh kekuatan besar.

Dalam konteks ini, Beijing diyakini tengah mengamati dengan cermat bagaimana negara-negara NATO dan mitra lainnya menangani konflik Ukraina. Jika Ukraina kalah dan Rusia tetap tidak mendapat konsekuensi strategis yang serius, seperti sanksi yang membuat Moskwa menyerah, atau intervensi militer langsung yang membuat Rusia mundur, maka bisa muncul kesimpulan di kalangan elite Tiongkok bahwa pendekatan yang sama bisa diterapkan untuk mengambil alih Taiwan.

Presiden Xi Jinping dan Taiwan (Sumber/Kredit Foto: Nikkei Asia)
Presiden Xi Jinping dan Taiwan (Sumber/Kredit Foto: Nikkei Asia)
Lebih lanjut, jika Rusia menang dan tidak mengalami isolasi internasional yang efektif, maka preseden itu akan mengikis kredibilitas "keamanan kolektif" dan prinsip kedaulatan internasional, dua nilai utama dalam arsitektur dunia pasca-Perang Dunia II. Dan itu justru bisa memperkuat narasi Beijing bahwa kekuatan militer bisa menjadi solusi sah untuk menyelesaikan "persoalan reunifikasi nasional", seperti Taiwan.

Namun, banyak pengamat juga menyatakan bahwa situasi Taiwan berbeda secara signifikan dari Ukraina, baik secara (i) geografis (Taiwan adalah pulau), (ii) militer (Amerika Serikat terlibat lebih dekat), maupun hukum (Taiwan memiliki status politik yang unik). Jadi, meskipun ada logika yang masuk akal bahwa kekalahan Ukraina bisa mendorong Beijing bersikap lebih agresif, tidak otomatis berarti China akan langsung menyerang Taiwan. Tetapi potensi eskalasi dan perhitungan ulang strategi tetap ada.

China dan Taiwan (Sumber/Kredit Foto: ABC News)
China dan Taiwan (Sumber/Kredit Foto: ABC News)

Geopolitik, Teknologi, dan Ketergantungan Ekonomi

Ketika Rusia dibanjiri sanksi dari Barat, China menjadi mitra utama dalam sektor-sektor vital seperti energi, perbankan, dan teknologi. Namun, ketergantungan Rusia pada China bukanlah tanpa batas. China tetap enggan memasok komponen militer secara langsung yang bisa menarik sanksi sekunder dari AS atau Uni Eropa. Selain itu, perusahaan-perusahaan teknologi China seperti Huawei dan DJI juga semakin hati-hati setelah tekanan internasional meningkat.

Bagi Beijing, Rusia yang lemah namun tidak runtuh adalah mitra strategis yang ideal. Rusia menyediakan akses ke sumber daya alam, dukungan politik di PBB, dan pasar bagi ekspansi teknologi China. Namun, Rusia yang terlalu kuat bisa menjadi pesaing dalam perebutan pengaruh di Asia Tengah, Timur Tengah, dan bahkan Arktik (Kutub Utara). Oleh karena itu, China menjaga agar hubungan ini tetap bersifat "asimetri-keseimbangan," bukan dominasi sepihak.

Dinamika Politik Dalam Negeri China

Pandangan bahwa China tidak ingin Rusia menang mutlak juga dipengaruhi oleh dinamika domestik dalam negeri China. Presiden Xi Jinping sedang menghadapi tekanan ekonomi domestik, termasuk perlambatan pertumbuhan, krisis real estate, dan ketegangan teknologi dengan AS. Dalam konteks ini, konflik Rusia--Ukraina menjadi isu eksternal yang harus dikelola dengan hati-hati. Terlalu dekat dengan Rusia bisa mengundang sanksi atau mengganggu relasi dengan pasar ekspor utama China di Eropa.

Xi juga mengedepankan citra sebagai pemimpin global yang rasional dan pendukung stabilitas internasional. Dalam banyak pidatonya, Xi menekankan "solusi damai" dan dialog, termasuk mengusulkan kerangka perdamaian untuk Ukraina. Meskipun proposal tersebut ditanggapi dingin oleh Barat, namun langkah itu memperkuat posisi China sebagai pihak yang "netral" dan bisa menjadi mediator global, bukan sekadar satelit Rusia.

Kesimpulan: Persahabatan yang Berbasis Kepentingan

Hubungan China dan Rusia dalam konteks perang Ukraina mencerminkan aliansi strategis yang dibangun bukan atas dasar ideologi atau persaudaraan historis, melainkan kalkulasi geopolitik. China memang mendukung Rusia dalam banyak hal, tetapi dukungan itu sangat terukur dan dipertimbangkan. Beijing lebih nyaman dengan Rusia yang melemah namun tetap eksis, bukan dengan Rusia yang menang mutlak dan menciptakan ketidakstabilan baru di Eropa.

Pendapat Politico bahwa China tidak ingin Rusia menang mutlak bukan hanya logis, tetapi juga selaras dengan prinsip keseimbangan kekuatan yang menjadi pilar kebijakan luar negeri Tiongkok sejak era Deng Xiaoping. Dalam dunia multipolar yang semakin rapuh, menjaga ketegangan tetap terkendali adalah cara China mempertahankan manuver strategisnya.

Dengan begitu, sikap ambigu dan kadang kontradiktif China terhadap konflik Rusia--Ukraina bukanlah tanda kebingungan, melainkan bagian dari strategi besar untuk menyeimbangkan kekuatan dunia sambil melindungi kepentingan nasionalnya sendiri.

======================

Catatan: Tulisan ini disusun sepenuhnya berdasarkan analisis dan informasi yang tersedia di Politico, Brookings Institution, Council on Foreign Relations, Carnegie Endowment for International Peace, Foreign Affairs & Foreign Policy, The Diplomat, Chatham House dan CSIS (Center for Strategic and International Studies), United Nations voting records dan pernyataan resmi China di Dewan Keamanan PBB

Jakarta, 3 Juli 2025
Prahasto Wahju Pamungkas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun