Namun, banyak pengamat juga menyatakan bahwa situasi Taiwan berbeda secara signifikan dari Ukraina, baik secara (i) geografis (Taiwan adalah pulau), (ii) militer (Amerika Serikat terlibat lebih dekat), maupun hukum (Taiwan memiliki status politik yang unik). Jadi, meskipun ada logika yang masuk akal bahwa kekalahan Ukraina bisa mendorong Beijing bersikap lebih agresif, tidak otomatis berarti China akan langsung menyerang Taiwan. Tetapi potensi eskalasi dan perhitungan ulang strategi tetap ada.
Geopolitik, Teknologi, dan Ketergantungan Ekonomi
Ketika Rusia dibanjiri sanksi dari Barat, China menjadi mitra utama dalam sektor-sektor vital seperti energi, perbankan, dan teknologi. Namun, ketergantungan Rusia pada China bukanlah tanpa batas. China tetap enggan memasok komponen militer secara langsung yang bisa menarik sanksi sekunder dari AS atau Uni Eropa. Selain itu, perusahaan-perusahaan teknologi China seperti Huawei dan DJI juga semakin hati-hati setelah tekanan internasional meningkat.
Bagi Beijing, Rusia yang lemah namun tidak runtuh adalah mitra strategis yang ideal. Rusia menyediakan akses ke sumber daya alam, dukungan politik di PBB, dan pasar bagi ekspansi teknologi China. Namun, Rusia yang terlalu kuat bisa menjadi pesaing dalam perebutan pengaruh di Asia Tengah, Timur Tengah, dan bahkan Arktik (Kutub Utara). Oleh karena itu, China menjaga agar hubungan ini tetap bersifat "asimetri-keseimbangan," bukan dominasi sepihak.
Dinamika Politik Dalam Negeri China
Pandangan bahwa China tidak ingin Rusia menang mutlak juga dipengaruhi oleh dinamika domestik dalam negeri China. Presiden Xi Jinping sedang menghadapi tekanan ekonomi domestik, termasuk perlambatan pertumbuhan, krisis real estate, dan ketegangan teknologi dengan AS. Dalam konteks ini, konflik Rusia--Ukraina menjadi isu eksternal yang harus dikelola dengan hati-hati. Terlalu dekat dengan Rusia bisa mengundang sanksi atau mengganggu relasi dengan pasar ekspor utama China di Eropa.
Xi juga mengedepankan citra sebagai pemimpin global yang rasional dan pendukung stabilitas internasional. Dalam banyak pidatonya, Xi menekankan "solusi damai" dan dialog, termasuk mengusulkan kerangka perdamaian untuk Ukraina. Meskipun proposal tersebut ditanggapi dingin oleh Barat, namun langkah itu memperkuat posisi China sebagai pihak yang "netral" dan bisa menjadi mediator global, bukan sekadar satelit Rusia.
Kesimpulan: Persahabatan yang Berbasis Kepentingan
Hubungan China dan Rusia dalam konteks perang Ukraina mencerminkan aliansi strategis yang dibangun bukan atas dasar ideologi atau persaudaraan historis, melainkan kalkulasi geopolitik. China memang mendukung Rusia dalam banyak hal, tetapi dukungan itu sangat terukur dan dipertimbangkan. Beijing lebih nyaman dengan Rusia yang melemah namun tetap eksis, bukan dengan Rusia yang menang mutlak dan menciptakan ketidakstabilan baru di Eropa.
Pendapat Politico bahwa China tidak ingin Rusia menang mutlak bukan hanya logis, tetapi juga selaras dengan prinsip keseimbangan kekuatan yang menjadi pilar kebijakan luar negeri Tiongkok sejak era Deng Xiaoping. Dalam dunia multipolar yang semakin rapuh, menjaga ketegangan tetap terkendali adalah cara China mempertahankan manuver strategisnya.
Dengan begitu, sikap ambigu dan kadang kontradiktif China terhadap konflik Rusia--Ukraina bukanlah tanda kebingungan, melainkan bagian dari strategi besar untuk menyeimbangkan kekuatan dunia sambil melindungi kepentingan nasionalnya sendiri.
======================