Perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada bulan Februari 2022 telah menjadi titik balik dalam geopolitik global. Dalam konflik bersenjata ini, banyak negara telah memperlihatkan dengan jelas posisi dan keberpihakan mereka. Namun satu negara, China, justru memainkan strategi diplomatik yang jauh lebih hati-hati dan terukur.
Meskipun Beijing terlihat erat dengan Moskwa, baik melalui retorika maupun kerja sama ekonomi, banyak analis percaya bahwa China sebenarnya tidak menginginkan Rusia menang secara mutlak dalam perang ini. Mengapa demikian? Pandangan ini mengemuka dalam sejumlah laporan media dan think tank, termasuk Politico, yang menyebutkan bahwa kemenangan absolut Rusia justru akan merugikan posisi strategis China dalam jangka panjang.
Pola Hubungan Strategis China--Rusia
China dan Rusia telah menjalin hubungan yang semakin erat sejak awal abad ke-21, terutama setelah keduanya merasa ditekan oleh tatanan dunia yang didominasi oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Sejak sanksi terhadap Rusia diberlakukan pasca-aneksasi Crimea pada tahun 2014, Rusia semakin bergantung pada pasar China untuk perdagangan energi, senjata, dan teknologi. Sebaliknya, China memanfaatkan Rusia sebagai penyeimbang terhadap tekanan strategis dari Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara/North Atlantic Treaty Organisation (NATO) di kawasan Asia Pasifik.
Namun, hubungan antara Rusia dan China ini bukanlah aliansi formal seperti NATO. China tidak pernah secara eksplisit menyatakan dukungan militer terhadap operasi Rusia di Ukraina, dan tetap menjaga hubungan ekonomi dengan negara-negara Eropa. Dalam banyak forum internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), China memilih abstain dalam pemungutan suara yang mengecam Rusia. Ini menandakan pendekatan "ambiguitas strategis" yang digunakan China untuk menjaga ruang gerak diplomatiknya.
Mengapa China Tak Ingin Rusia Menang Mutlak?
Dalam laporan eksklusifnya yang terbit 1 (satu) hari setelah invasi skala penuh Rusia terhadap Ukraina, Politico menyatakan bahwa para pejabat di Beijing memandang bahwa kemenangan mutlak Rusia di Ukraina bisa menjadi bumerang bagi kepentingan jangka panjang China. Pertama, kemenangan Rusia akan memperkuat kembali posisi Moskwa sebagai kekuatan dominan di Eropa Timur, yang bisa menciptakan ketidakseimbangan dalam kemitraan strategis antara kedua negara. Dengan kata lain, China lebih diuntungkan jika Rusia tetap lemah dan bergantung secara ekonomi serta diplomatik kepada Beijing.
Kedua, jika Rusia berhasil menang telak dan mengganti rezim di Kyiv, ini akan memicu peningkatan persatuan dan persenjataan NATO yang justru merugikan China. Dalam logika geopolitik Beijing, keseimbangan kekuatan global lebih mudah dikelola saat terjadi stagnasi, bukan dominasi. China ingin agar Eropa tetap sibuk dengan Rusia, bukan justru memiliki ruang untuk menekan China dalam isu Taiwan dan Laut China Selatan.
Ketiga, Beijing sangat memperhatikan stabilitas global dan ekonomi. Perang yang berkepanjangan memang telah menciptakan peluang baru bagi ekspor China ke Rusia, tetapi pada saat yang sama juga mengganggu pasar global, termasuk logistik, komoditas, dan energi. Kemenangan mutlak Rusia berpotensi memperluas zona konflik atau menciptakan rezim klien Rusia di Ukraina, yang bisa memicu sanksi lebih luas dan memperburuk ketegangan global.
Akan tetapi, ada juga pendapat analis yang mengatakan bahwa jika Rusia menang mutlak dalam perang melawan Ukraina, maka hal ini akan membuat China lebih berani untuk menyerang Taiwan, sesuai dengan ambisi China untuk unifikasi China dengan Taiwan, sekalipun dengan kekuatan militer.
Pandangan yang Berbeda: China Ingin Rusia Menang Mutlak
Pendapat tersebut memang banyak dikemukakan oleh para analis hubungan internasional, terutama dari kalangan strategis Barat. Argumennya berpijak pada logika deterrence: jika Rusia berhasil menang atas Ukraina, meskipun mendapat tekanan dan adanya dukungan internasional yang besar bagi Ukraina, maka hal itu bisa dianggap sebagai bukti bahwa koalisi demokrasi Barat (Amerika Serikat dan sekutunya) tidak cukup kuat atau tidak cukup berkomitmen untuk menghentikan agresi militer oleh kekuatan besar.
Dalam konteks ini, Beijing diyakini tengah mengamati dengan cermat bagaimana negara-negara NATO dan mitra lainnya menangani konflik Ukraina. Jika Ukraina kalah dan Rusia tetap tidak mendapat konsekuensi strategis yang serius, seperti sanksi yang membuat Moskwa menyerah, atau intervensi militer langsung yang membuat Rusia mundur, maka bisa muncul kesimpulan di kalangan elite Tiongkok bahwa pendekatan yang sama bisa diterapkan untuk mengambil alih Taiwan.