Mohon tunggu...
Prahasto Wahju Pamungkas
Prahasto Wahju Pamungkas Mohon Tunggu... Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Seorang Advokat dan Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa dengan pengalaman kerja sejak tahun 1995, yang juga pernah menjadi Dosen Tidak Tetap pada (i) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, (ii) Magister Hukum Universitas Pelita Harapan dan (iii) Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang gemar travelling, membaca, bersepeda, musik klasik, sejarah, geopolitik, sastra, koleksi perangko dan mata uang, serta memasak. https://pwpamungkas.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa Dampak Kesepakatan Dagang Amerika Serikat - China bagi Dunia?

28 Juni 2025   08:43 Diperbarui: 28 Juni 2025   08:43 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping (Sumber/Kredit Foto: Politico.com)

Dalam momen langka yang memperlihatkan titik terang di tengah perang dagang yang panjang, Amerika Serikat dan China pada akhir bulan Juni 2025 berhasil mencapai kesepakatan penting dalam forum dagang bilateral di London. Kesepakatan ini datang setelah bertahun-tahun ketegangan, saling tuding pelanggaran aturan dagang, dan perang tarif yang melumpuhkan rantai pasok global.

Meskipun Organisasi Perdagangan Dunia / World Trade Organization (WTO) tidak hadir sebagai fasilitator utama dalam perundingan ini, prinsip-prinsip dasar WTO seperti non-diskriminasi dan Most Favoured Nation tetap menjadi landasan norma. Namun, bagaimana isi kesepakatan ini? Apa dampaknya bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia dan ASEAN? Dan bagaimana masa depan hubungan ekonomi dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini di masa yang akan datang?

Isi Kesepakatan Dagang: Penurunan Tarif dan Mekanisme Baru

Dalam pertemuan tingkat tinggi di London, delegasi Amerika Serikat dan China menyepakati kerangka kerja perdagangan baru yang menekankan tiga hal utama: penurunan tarif pada barang-barang teknologi dan pertanian, jaminan transparansi untuk subsidi industri strategis, serta penciptaan mekanisme penyelesaian sengketa bilateral di luar kerangka WTO.

Kesepakatan ini secara spesifik akan menurunkan tarif atas ekspor semikonduktor Amerika ke China sebesar 30% dalam dua tahun ke depan. Sebagai imbalannya, Amerika Serikat akan menghapus tarif atas produk agrikultur China, terutama kedelai dan produk olahan pangan. Mekanisme pengawasan akan dikoordinasikan melalui unit gabungan bilateral yang bersifat semi-independen dan berkantor di Geneva, dekat kantor pusat WTO.

Sumber/Kredit Foto: CNBC
Sumber/Kredit Foto: CNBC

Peran WTO: Tidak Langsung Namun Tetap Relevan

Meskipun WTO tidak menjadi pihak penandatangan atau berfungsi sebagai forum resmi bagi penandatanganan kesepakatan ini, prinsip-prinsip dasar WTO seperti Most Favoured Nations (MFN), aturan transparansi, dan aturan anti-dumping tetap dijadikan rujukan.

Dalam dokumen resmi kesepakatan, kedua negara menyatakan komitmen terhadap sistem perdagangan multilateral dan berjanji untuk tetap menghormati aturan-aturan WTO dalam perjanjian bilateral ini. Hal ini mencerminkan bahwa WTO, meskipun tengah menghadapi krisis legitimasi, tetap menjadi rujukan normatif dalam tata kelola perdagangan global.

Kantor Pusat WTO di Geneva (Sumber/Kredit Foto: Global Times)
Kantor Pusat WTO di Geneva (Sumber/Kredit Foto: Global Times)

Efektivitas dan Durasi Kesepakatan

Kesepakatan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 2025, dengan periode evaluasi setiap dua tahun dan durasi berlaku awal selama lima tahun. Pemerintah masing-masing negara memiliki kewajiban untuk meratifikasi perjanjian tersebut melalui prosedur domestik, yang menurut pejabat Gedung Putih dan Kementerian Perdagangan China, akan rampung dalam waktu tiga bulan ke depan.
Dampak Global: Reaksi Dunia dan Potensi Efek Domino

Reaksi dari negara-negara lain datang cepat dan penuh nuansa. Uni Eropa menyambut baik penurunan tensi antara dua raksasa ekonomi ini, meskipun ada kekhawatiran soal diskriminasi pasar dan potensi pergeseran jalur investasi. Inggris, sebagai tuan rumah kesepakatan, berharap akan ada spillover positif terhadap kesepakatan pasca-Brexit dengan China dan Amerika Serikat.

Inggris sebagai negara tuan rumah penandatanganan kesepakatan, berharap bahwa kesepakatan dagang bilateral antara Amerika Serikat dan China yang baru tercapai di London dapat berdampak positif atau menular (spill over) terhadap hubungan dagang Inggris, yang kini berada di luar Uni Eropa (pasca-Brexit), dengan kedua kekuatan ekonomi tersebut.

Canada (Kanada) dan Mexico (Meksiko) khawatir bahwa penurunan tarif sepihak antara AS dan China dapat merusak keseimbangan dalam kerangka United States--Mexico--Canada Agreement (USMCA).

Jepang dan Korea Selatan juga mencermati dengan hati-hati, mengingat dampaknya terhadap industri teknologi tinggi dan rantai pasok regional. Australia berharap dapat memperoleh posisi strategis sebagai mitra dagang sekunder dalam arsitektur baru ini.

India, yang selama ini bersikap proteksionis, justru menyambut kesepakatan ini sebagai peluang untuk memperkuat hubungan dagang dengan Amerika Serikat dan China, khususnya untuk ekspor tekstil dan layanan digital.

ASEAN, dan khususnya Indonesia, melihat ini sebagai jendela strategis baru untuk mendorong investasi dan diversifikasi mitra dagang.

Posisi Indonesia: Antara Peluang dan Kewaspadaan

Bagi Indonesia, kesepakatan ini bisa menjadi peluang besar sekaligus tantangan berat. Penurunan tarif China terhadap barang-barang Amerika Serikat dapat mendorong Indonesia untuk mempercepat ratifikasi Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni Eropa dan memperkuat kerjasama bilateral dengan China dan Amerika Serikat secara simultan.

Namun, persaingan di sektor manufaktur, pertanian, dan teknologi akan semakin tajam. Jika Indonesia gagal menaikkan daya saing industri nasional, ada risiko kehilangan pangsa pasar.

Di sisi lain, kehadiran kantor mekanisme pengawasan di Geneva membuka peluang diplomatik bagi Indonesia untuk menguatkan kembali peran sebagai juru damai perdagangan global. Keterlibatan aktif dalam forum WTO dan kerjasama dagang regional seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) menjadi kunci menjaga posisi tawar.

China, Indonesia, Amerika Serikat (Sumber/Kredit Foto: Shutterstock.com)
China, Indonesia, Amerika Serikat (Sumber/Kredit Foto: Shutterstock.com)

Kerangka Politik dan Diplomasi Dagang

Kesepakatan ini juga mencerminkan perubahan strategi politik luar negeri kedua negara. Pemerintahan Presiden Donald Trump, dalam masa jabatan keduanya, memberikan lampu hijau atas kesepakatan ini, meskipun sebagian besar desain teknis dan substansi dirumuskan oleh pejabat karier di Departemen Perdagangan dan United States Trade Representatives (USTR), dan melihat ini sebagai jalan untuk menurunkan eskalasi menjelang pemilu.

Sedangkan bagi China, terutama di bawah Presiden Xi Jinping, ini adalah cara untuk menunjukkan bahwa China mampu menjadi mitra dagang yang rasional dan stabil, bahkan dalam tekanan geopolitik.

Isu lain yang disoroti adalah posisi Taiwan dan kontrol teknologi chip. Meski tak disebut secara eksplisit dalam dokumen kesepakatan, pengamat menilai bahwa kesediaan Amerika Serikat menurunkan tarif teknologi merupakan sinyal untuk membuka ruang dialog lebih luas tentang stabilitas kawasan.

Teknologi chip (semiconductor) (Sumber/Kredit Foto: AZO Nano)
Teknologi chip (semiconductor) (Sumber/Kredit Foto: AZO Nano)

Momentum Baru, Tantangan Lama

Kesepakatan dagang China-Amerika Serikat di London membuka babak baru dalam relasi ekonomi global. Bagi dunia, ini adalah angin segar setelah stagnasi perdagangan internasional selama bertahun-tahun. Namun, risiko masih besar. Tidak ada jaminan bahwa kesepakatan ini akan bertahan jika terjadi pergantian kepemimpinan politik di kedua negara.

Yang pasti, bagi negara-negara seperti Indonesia, ini adalah momen untuk memperkuat diplomasi ekonomi, meningkatkan daya saing nasional, dan merumuskan ulang strategi perdagangan yang inklusif dan resilien.

======================

Catatan: Tulisan ini disusun sepenuhnya berdasarkan analisis dan informasi yang tersedia di CNBC, situs-situs World Trade Organization, United States Trade Representative, MOFCOM (Kementerian Perdagangan Tiongkok), Brookings Institution dan Peterson Institute for International Economics, ASEAN Secretariat dan laporan CEPA serta RCEP, The Economist, Foreign Affairs, Nikkei Asia

Jakarta, 28 Juni 2025
Prahasto Wahju Pamungkas

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun