Memperkuat Kedaulatan Udara
Presiden Perancis, Emmanuel Macron, dan Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani kesepakatan untuk jual beli 42 (empat puluh dua) pesawat jet tempur Rafale.
Baca juga: Kemitraan Indonesia-Perancis Menuju 2050
Dan kini pemerintah bermaksud menambah armada pesawat tempur yang terdiri dari 48 (empat puluh delapan( jet KAAN dari Turki dan 12 (dua belas) Mirage buatan Perancis, bekas milik Qatar. Indonesia menjalankan strategi ambisius; meremajakan alutsista (Alat Utama Sistem Senjata) TNI AU dengan teknologi terkini dari berbagai produsen global.
Ragam Jet Tempur Untuk Ragam Misi
Pembelian jet tempur dengan spektrum teknologi berbeda (generasi 4.5--5) menghindarkan ketergantungan pada satu sistem radar, persenjataan, atau dukungan teknis. Kombinasi Rafale, KAAN, Mirage, dan kemungkinan J10 menawarkan fleksibilitas misi udara, dari pengawalan wilayah perbatasan, patroli maritim, hingga deteksi & deterrence modern.
Jumlah pesawat yang direncanakan, 42 Rafale, 48 KAAN, 12 Mirage, dan sejumlah J10 China (belum diketahui jumlahnya), memberikan dasar minimal 100 jet tempur. Ini memperbaharui armada awal yang banyak terdiri dari F16 dan Su27/Su30 yang kini mendekati usia pensiun. Rafale terbaru, dilengkapi sensor mutakhir, misil udara-ke-udara & anti-kapal, menjadi tulang punggung pertahanan udara regional .
Pengintegrasian Teknologi dan Transfer Pengetahuan
Setiap jet memiliki kurva belajar dan dukungan unik. Pelatihan pilot untuk Rafale sudah dimulai sejak 2022 di Perancis; infrastruktur di Lanud Pekanbaru dipersiapkan sejalan dengan kedatangan batch pertama pada 2026. Proses ini membutuhkan intensitas tinggi selama 2--3 tahun, termasuk pelatihan di simulator khusus, ochoaircraft training, dan misi tempur bersama.
KAAN, yang baru melakukan penerbangan perdananya tahun 2024, akan diproduksi bersama di Turki dan memasang komponen lokal Indonesia, memperkuat kerja sama teknis dan transfer teknologi. Diharapkan mulai dikirim pada 2028. Karena KAAN masih baru (perdananya 2024), maka pelatihan pilot akan memakan waktu minimal 2--3 tahun, termasuk pelatihan dasar dan transisi ke operasi penuh.
J-10 dari China dipertimbangkan karena efisiensi biaya dan kemampuan modernisasi yang ditawarkan, namun proses pembelajarannya akan memakan beberapa tahun dan bergantung pada komparatif after-sales dan kompatibilitas sistem operasi. Jika jadi diperoleh, pelatihan pilot diperkirakan membutuhkan 3--5 tahun karena kurva belajar teknologi China dan kompatibilitas logistik yang harus dibangun dari awal