Penulis baru saja membaca di Kompas.com, bahwa sedang viral kasus pernikahan anak di bawah umur di Lombok Tengah. Ceritanya begini.
Baru-baru ini, sebuah video pernikahan anak di Desa Beraim, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menjadi viral di media sosial. Video tersebut menampilkan pasangan remaja berinisial YL (15 tahun) dan RN (16 tahun) yang melangsungkan pernikahan secara adat. Kepala Dusun setempat, Syarifudin, menyampaikan permohonan maaf kepada publik karena tidak dapat mencegah pernikahan tersebut, meskipun telah berupaya semaksimal mungkin.
Menurut laporan, pernikahan ini merupakan hasil dari tradisi "kawin lari" atau "nyongkolan" yang masih kuat dipegang oleh masyarakat setempat. Orang tua pengantin wanita mengungkapkan bahwa mereka telah berusaha memisahkan pasangan tersebut sebelumnya, namun keduanya kembali melakukan tindakan serupa, sehingga keluarga merasa tidak memiliki pilihan lain selain merestui pernikahan tersebut.
Hukum Nasional tentang Usia Minimum Pernikahan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019, menetapkan bahwa usia minimum untuk melangsungkan pernikahan bagi pria dan wanita adalah 19 tahun. Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita telah mencapai umur 19 tahun.
Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur tersebut, orang tua atau wali dari calon mempelai dapat mengajukan dispensasi ke pengadilan dengan alasan sangat mendesak dan disertai bukti-bukti pendukung. Namun, dalam kasus pernikahan anak di Lombok Tengah ini, tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa dispensasi telah diajukan permohonannya atau diberikan oleh pengadilan.
Konflik antara Hukum Adat dan Hukum Nasional
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Namun, ketentuan ini tidak berarti bahwa hukum adat atau kepercayaan dapat mengesampingkan ketentuan hukum nasional yang bersifat mengikat, seperti batas usia minimum pernikahan.
Dalam konteks ini, meskipun tradisi "kawin lari" masih dipraktikkan di beberapa daerah, praktik tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk mengabaikan ketentuan hukum nasional yang bertujuan melindungi hak-hak anak dan mencegah perkawinan di bawah umur.
Potensi Pelanggaran Hukum Pidana
Perkawinan anak di bawah umur dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum pidana, terutama jika melibatkan unsur paksaan atau eksploitasi seksual. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengatur bahwa perkawinan anak dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual apabila dilakukan tanpa persetujuan yang sah atau melibatkan paksaan.