Mohon tunggu...
Mohamad Irvan Irfan
Mohamad Irvan Irfan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Aktifis Sosial

Sedang belajar jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Ini Jalannya

17 Januari 2021   12:28 Diperbarui: 17 Januari 2021   12:47 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepanjang malam hujan turun. Ia turun dengan tenang, tak ada keributan yang menyertainya.

"Atapnya bocor," kata Wira.

"Biarkanlah bocor," kata bunda seraya tersenyum. Ia meletakkan panci di bawah tetesan air yang merembes lewat genting yang retak. Tetesan demi tetesannya menimpa dasar panci logam dan membuat bunyi yang berirama seperti nyanyian dan membuat hatinya senang.

Lalu, ketika cahaya kelabu fajar pertama merebak dan merayap ke dalam rumah, bunda memasak telur dan menggaraminya untuk sarapan pagi. Telur telah menjadi sajian istimewa yang biasa mereka santap pada hari minggu. " Kita perlu merayakannya," katanya.

Wira mencium aroma bau masakan, perutnya bergolak, dan mengingatkannya bahwa mereka belum makan malam tadi. Semalaman mereka sibuk menanggulangi api. Ia pun jadi lupa dengan rasa laparnya.

Dalam terangnya pagi hari Wira memperhatikan bahwa wajah bunda dan ayahnya merah padam, seakan-akan mereka habis mandi cahaya mentari.
Hujan yang turun semalam menerpa bumi. Ia turun dengan tenang tanpa diusik oleh angin. Ia melihat tetesan-tetesan airnya menerpa atap dan melihat bumi ini minum sepuas-puasnya. Bumi yang keras pun menjadi lunak dan airnya yang mengalir ke segenap penjuru menjadi jaringan anak-anak sungai. Semua dedaunan minum, begitu pula rerumputan. Daun menyalurkannya ke ranting, ranting mengantarknnya ke cabang, dan cabang ke batang, lalu batang ke akar. Semua debu dibersihkan, semua rasa haus dan panas pun terlupakan.

Ayah berkata bahwa musim kemarau mungkin sudah berakhir.

"Anakku, kita masih harus mendaki bukit untuk melewati musim ini. Ladang jagung kita mungkin selamat," katanya. "Dan mungkin pohon kentang juga, meskipun tak sebesar seperti tahun kemarin."

Mereka berbicara tenang, suara mereka bercampur dengan air hujan. Mereka kini disegarkan, dan hidup mereka diperbaharui seperti kehidupan ladang dan hutan yang bersorak sorai gembira.

Semua tetangga di kota kecil itupun berkumpul bersama-sama dan membantu Pak Dasa untuk memperbaiki kembali lumbungnya. Ayah mengatakan bahwa percikan api yang keluar dari roda kereta api-lah yang memulai kebakaran itu. Ia juga mengatakan Pak Dasa akan mengusahakan upaya hukum terhadap jawatan kereta api untuk membayarkan ganti rugi atas panen dan lumbungnya yang musnah dilalap api. Namun pihak jawatan kereta api membantahnya dan mengatakan penyebabnya adalah sebuah kilat yang menyambar pohon dan membakarnya.

Wira,Wahid dan Ara berjalan bersama di atas ladang yang terbakar itu. Sedih hatinya menyaksikan hal itu. Ia juga tak habis pikir bagaiman bisa api berkobar membakar ladang-ladang kami sementara malam itu juga sedang hujan. "Hanya alam yang bisa melakukan itu," pikirnya. Di pinggir ladang dimana api memusnahkan ilalang, ia menemukan sisa jasad seekor tikus yang turut terbakar. Semua pohon dan semak belukar habis dilalap api. Batang pohon jati yang tinggi dan pohon sengon masih tetap berdiri, namun seperti kerangka yang menyeramkan, yang tinggal hanya beberapa ranting yang terkelupas. Pasti tak akan ada burung yang biasa bersarang di sana untuk beberapa lama. Tak akan ada binatang liar yang akan bersarang di lahan yang gundul tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun