Mohon tunggu...
Ponco Dwi Putra
Ponco Dwi Putra Mohon Tunggu... Lainnya - Bunga Barah

Yang terus belajar dalam pelbagai diskusi, yang terus mencari akan sebuah arti, yang…

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Berkenalan dengan Kelana

14 November 2020   05:40 Diperbarui: 14 November 2020   05:59 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kelana, nama yang belakangan ini menghantui pikiranku. Hitam putih parasnya tidak se-hitam putih esensi yang disajikannya.

Semua berangkat dari kalam-kalam tuhan yang menghantarkan angin untuk menjamah telinga serta ragaku untuk melangkah. Adalah Rizky Hanna Aminuddin yang ditugaskan Tuhan untuk menitipkan salam itu.

Rencana awal, pertemuan dengan Kelana pukul 20:30 wib pada sebuah kedai kopi di bilangan Cipadu, Tanggerang Selatan. Tapi agak molor sebab (barangkali) Kelana terjebak dijalan. Tapi tak apa, menanti adalah cara kita merawat kesabaran.

Hingga sampai waktunya, Kelana memperkenalkan diri. Setelah mandeg dijalan. Aku maklum karena simpang siurnya kehidupan malam hari yang agak dingin ini.

Perlu dicatat, Kelana adalah buah hati dari kumpulan pemikir yang mengikat atas nama STOIK CINEMA. Kelana adalah lantang suara-suara pelik yang memang aku sadari sering menjadi alunan dalam telingaku. Suara-suara pelik ini diangkat oleh teman-teman STOIK menjadi media memanjakan mata namun mengekang suatu pemikiran. Itulah sebabnya aku lebih suka membaca dibanding melihat. Karena dengan membaca, imajinasiku lebih berlarian tak karuan kesana kemari.

Selepas mendengar Kelana bercerita, ndilalah kok aku malah merasakan jatuh cinta padanya. Dalam bait-bait kasih aku ingin berkenalan lebih jauh dengannya. Sebab ada bagian yang sangat aku garis bawahi terkait Kelana tersebut, yakni suaranya terkait "kebebasan". Tapi dalam suaranya itu ko aku malah tidak melihat dia memberikan solusi. Mengapa demikian?

Dari pertanyaan tersebut, aku ingin sedikit berkata-kata dengan opiniku yang kurang lebih aku rangkum seperti ini. Kelana ini adalah film yang disuguhkan oleh pemikir-pemikir dari STOIK, dalam film tersebut aku menggarisbawahi tokoh antagonis ada dua, yakni Kelana dan Orang Gila (aku lupa namanya). Kedua tokoh ini bisa dibilang bertentangan, walaupun bisa dikatakan memiliki permasalahan yang sama "tidak ingin terikat peraturan". Tersajikan bagaimana Kelana adalah tokoh yang menyerah dalam tantangan tersebut, sedang orang gila adalah antitesisnya. Aku mengatakan antitesis sebab sependek pikiranku dia berusaha melepaskan diri dalam aturan-aturan tersebut dengan caranya, tidak seperti Kelana yang memilih untuk mengakhiri hidupnya. 

Tapi justru ini yang mengganggu pikiranku. Ketika pengambilan solusi dengan menghadirkan orang gila. Bagiku orang gila itu bukan solusi daripada esensi yang ditawarkan. Tentu kita tau, orang gila itu disandarkan pada orang yang sakit jiwanya. Kata sakit disini, aku rasa bukan pilihan untuk dipilih, tapi memang keadaan yang memaksa dia tergoncangkan pola pikirnya. Jika ditengok harapan dari teman-teman STOIK, tentu saja tujuan film ini adalah sebagai bentuk pembelajaran akan realitas yang terjadi. Terlebih hal tersebut diperkuat oleh ujaran yang teman-teman STOIK sampaikan dalam sesi diskusi. Lantas ko malah menimbulkan resahku kenapa harus menjadi gila untuk meraih kebebasan tersebut? Bagiku menjadi gila itu bukan solusi seperti yang dipaparkan sebelumnya. Mengapa tidak menyandingkan orang yang bebas tapi tetap berkarya seperti stigma masyarakat (yang barangkali umum) kepada para seniman. Yang tidak ingin terikat pada peraturan tapi tetap memberikan sumbangsih yang bisa di terima masyarakat. Ini merujuk pada konsep kebebasan diri dan universal. Tapi tak apa, memang tafsiran orang beda-beda dan kita tidak bisa memaksakan tafsiran akan "kebebasan" tersebut. Jelas terang dan nyata bahwa setiap pilihan tersebut tentu penuh dengan konsekuensi yang ditanggung.

Mendengar kata "kebebasan", ko aku malah teringat pidato mas Seno Gumira Ajidarma dalam pidato kebudayaan. Dimana sedikitnya membicarakan akan kata "kebenaran". Beliau berucap kata kebenaran seharusnya dipergunakan dengan hati-hati. Kalau aku cermati, ada bagusnya. Sebab apa yang kita bilang benar, belum tentu benar di mata orang lain. Kurang lebih seperti itu. Sedangkan kebebasan, ko aku juga merasakan sama. Sebab kebebasan yang dimaksud kita belum tentu sepaham dengan kebebasan orang lain. Artinya kebebasan itu tidak bisa menyekat, sebab ketika kamu memaksakan apa yang kamu artikan, sama saja kamu merebut kebebasan dia. Terlebih dalam konsep kebebasan yang sependek pengetahuanku bercabang; kebebasan diri dan kebebasan universal. Ada baiknya langsung aku beri contoh, yakni seorang pemabuk. Pemabuk adalah orang yang membebaskan dirinya, tapi dalam universal apakah mampu diterima? Tentu saja tidak ketika dia melakukan hal-hal negatif yang merugikan orang lain. Kurang lebih seperti itu. Jika ditarik pada orang gila, bagiku itu murni bukan dari kebebasan, tapi lebih kearah sakit psikis yang tidak bisa dibilang sebagai kebebasan. Itu.

Tapi tetap aku jatuh cinta. Rupanya Kelana memang masih harus "berkelana" untuk mencari kebebasan tersebut. Selebihnya aku tetap mencintai dia sebagaimana suara buah karya anak negeri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun