Oleh Pojok Statistik Unhas
Hallo Sobat Data!
Pernah nggak sih kalian membayangkan bagaimana posisi perempuan di Sulawesi Selatan hari ini? Apakah mereka sudah punya akses yang sama seperti laki-laki dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan peran pengambilan keputusan? Nah, jawabannya bisa kamu temukan lewat rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan tentang Indeks Ketimpangan Gender (IKG) tahun 2024. Dan kabar baiknya, Sulsel semakin bergerak ke arah yang lebih setara meski perjalanan ini masih penuh tantangan yang perlu kita kawal bersama.Â
Apa itu IKG dan Seberapa Penting?
Indeks Ketimpangan Gender (IKG) itu semacam skor buat ngelihat sejauh mana perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang setara di tiga hal penting: kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja.
IKG ini nilainya berkisar antara 0 sampai 1. Semakin kecil nilainya, berarti ketimpangannya makin kecil alias makin setara. Dan tahun 2024 ini, IKG Sulawesi Selatan ada di angka 0,365. Turun tipis banget dibanding tahun sebelumnya yang 0,366. Tapi, hei! Penurunan tetap penurunan dong. Apalagi kalau kita lihat tren dari 2018 sampai sekarang, penurunannya lumayan konsisten.
IKG Sulsel pada tahun 2024 tercatat sebesar 0,365, sedikit menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 0,366. Meski penurunannya hanya 0,001 poin, angka ini tetap menunjukkan arah yang positif, yaitu menurunnya ketimpangan antara perempuan dan laki-laki dalam tiga dimensi utama: kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja. Semakin rendah nilai IKG, maka semakin setara kondisi antara laki-laki dan perempuan dalam aspek sosial dan ekonomi. Ini artinya, satu langkah kecil menuju kesetaraan tetap layak untuk diapresiasi.
Kalau kita tarik ke belakang sejak tahun 2018, tren penurunan IKG ini ternyata cukup konsisten. Pada 2018, IKG Sulsel masih berada di angka 0,492, dan kini di 2024 sudah di angka 0,365. Artinya, dalam enam tahun terakhir, terjadi penurunan sebesar 0,127 poin, atau rata-rata sekitar 0,021 poin per tahun. Ini bukan sekadar angka, tapi cerminan dari banyak perubahan---baik dari sisi kebijakan, kesadaran masyarakat, hingga keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor pembangunan.
Nah, dari tiga dimensi pembentuk IKG, pasar tenaga kerja menjadi faktor yang paling berkontribusi terhadap penurunan IKG tahun ini. Hal ini didorong oleh peningkatan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan dari 49,62% menjadi 52,68%. Bandingkan dengan TPAK laki-laki yang hanya naik dari 82,22% ke 82,52%. Artinya, perempuan mengalami peningkatan partisipasi yang lebih tinggi, sebuah pencapaian penting di tengah tantangan ketenagakerjaan saat ini. Perempuan kini semakin aktif di ruang ekonomi, yang artinya peran mereka di luar ranah domestik semakin diakui dan dibutuhkan.
Dari sisi kesehatan reproduksi, ada dua indikator penting yang digunakan. Pertama, proporsi perempuan usia 15--49 tahun yang melahirkan anak pertama sebelum usia 20 tahun, yang mengalami penurunan dari 27,90% ke 27,10%. Ini tentu saja kabar baik karena mengindikasikan peningkatan kesadaran akan kesehatan dan kesiapan menjadi ibu. Namun, catatan penting muncul pada indikator kedua, yaitu persalinan yang tidak dilakukan di fasilitas kesehatan, yang justru meningkat dari 4,2% menjadi 4,4%. Ini menunjukkan bahwa masih ada tantangan dalam akses layanan kesehatan yang aman dan layak bagi perempuan.
Sayangnya, dimensi pemberdayaan justru mengalami stagnasi, bahkan kemunduran. Misalnya, keterwakilan perempuan di parlemen mengalami penurunan dari 25,88% menjadi 25,00%, sementara keterwakilan laki-laki meningkat menjadi 75,00%. Artinya, ruang pengambilan keputusan politik masih didominasi oleh laki-laki. Di sisi lain, pendidikan tingkat SMA ke atas memang mengalami peningkatan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Tapi kesenjangan masih terasa: laki-laki dengan 44,38%, perempuan 40,98%. Artinya, meski perempuan makin banyak yang berpendidikan tinggi, mereka masih kalah langkah dibanding laki-laki.
Kalau bicara wilayah, capaian IKG juga sangat beragam antar kabupaten/kota di Sulsel. Kota Parepare tampil sebagai yang terbaik dengan IKG paling rendah yaitu 0,166, disusul oleh Kota Palopo dan Kabupaten Jeneponto. Sebaliknya, Tana Toraja mencatat IKG tertinggi sebesar 0,523, menunjukkan masih tingginya ketimpangan gender di wilayah tersebut. Ini menunjukkan bahwa pembangunan berbasis gender tidak bisa disamaratakan, karena tiap daerah punya tantangan dan konteks sosialnya sendiri.