Mohon tunggu...
Poe Three
Poe Three Mohon Tunggu... Arsitek - citizen of the world

Keep Calm and Write It On..

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Masa Depan Bumi Kita, Resensi Buku "Bumi yang Tak Dapat Dihuni" Karya David Wallace-Wells Bagian 2/2

10 Juli 2020   18:41 Diperbarui: 12 Juli 2020   15:21 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Uninhabitable Earth -- Bumi yang Tak Dapat Dihuni | David Wallace-Wells | 2019 (Dok; Gramedia Pustaka Utama)

Bagian ini adalah bagian kedua dari part sebelumnya, dapat dilihat di sini.

Wabah Akibat Pemanasan. Seperti manusia, makhluk hidup lain juga memiliki rentang kenyamanan suhu untuk dapat berkembang biak, termasuk kuman, bakteri dan virus. 

Bahkan di bagian utara bumi, melelehnya es di kutub utara menyebabkan ikut terbawanya virus anthrax yang sempat tertidur selama jutaan tahun, kemudian melanda hewan-hewan di hutan yang berbatasan dengannya. 

Penyakit baru diprediksi bisa terus timbul akibat pemanasan global. Yah, lihat saja kondisi bumi saat ini, Juli 2020 ketika resensi ini ditulis, dengan virus yang bahkan tidak perlu saya sebut namanya, saking bosannya kita dengar namanya di media setiap hari.

Bukan berarti virus yang namanya tak perlu saya sebut ini semata-mata akibat pemanasan global. Saya pribadi tidak memiliki kapasitas atau kredibilitas untuk mengatakan demikian. Namun yang coba saya simpulkan dari bab buku ini bahwa, bisa saja ada hubungan antara makin sering timbulnya penyakit-penyakit baru di abad 21 ini (seperti Flu Burung, Flu Babi, Foot and Mouth Disease, Covid-19) dengan iklim bumi yang kian menghangat. Tentu diperlukan penelitian lebih mendalam oleh para ahli, namun bagi saya ini terdengar cukup logis.

Ambruknya Ekonomi dan Konflik Akibat Iklim. Cukup jelas dari uraian-uraian sebelumnya bahwa kekacauan akan terus terjadi di muka bumi, yang disadari atau tidak berawal dari pemanasan global. 

Beberapa tempat di dunia ini akan lebih terdampak dibandingkan tempat lainnya tergantung kapasitas sumberdayanya, dan itu menyebabkan terjadinya pengungsian (exodus) manusia ke berbagai tempat, yang kemudian juga akan menghabiskan sumberdaya di tempat tersebut. 

Carrying capacity suatu tempat menggambarkan keterbatasan habitat untuk menampung aktivitas manusia sampai titik tertentu. Ekonomi, politik, budaya dan seluruh peradaban manusia akan ikut terpengaruh oleh hal ini. Singkatnya, kita akan mengalami 'rebutan sumberdaya'.

Lalu Bagaimana?

Ketika kita mendapatkan sebuah pengetahuan sudah sepatutnya kita menggunakan pengetahuan itu untuk kita olah, untuk menanggulangi, menghindari, mengurangi, mengantisipasi masalah global yang kita hadapi bersama ini. Namun kenyataannya tidak pernah sesederhana itu.

Walaupun kita telah tahu bahwa bumi ini rusak karena ulah kita sendiri, banyak yang cenderung menganggap enteng, bahkan menyangkal hal tersebut. Ada yang menganggap belum dan sulit membiasakan diri untuk berubah. Banyak juga dari kita yang tidak mampu untuk berubah, bukan tidak mau. Teknologi yang ramah lingkungan, mulai dari kantong belanja organik, panel surya, mobil listrik, dan sebagainya masih sulit (dan relatif lebih mahal dari yang 'konvensional') untuk kita peroleh.

Kaleidoskop Iklim di bagian buku ini menjelaskan berbagai konsep dan metode yang mulai diusung secara global untuk menangani permasalahan iklim, namun keterangan penulis tidak cukup jelas (atau mungkin tidak atau belum memiliki hasil follow up yang konkret) dari usaha-usaha ini. Lagi-lagi, politik dan ekonomi sepertinya masih kita kedepankan dibandingkan isu iklim dan lingkungan.

Kapitalisme Krisis menguraikan bahwa dengan pendekatan yang lebih ramah lingkungan, banyak korporat-korporat yang berbasis karbon (dan karyawannya) akan terdampak. Ini salah satu penyebab kenapa belum banyak mobil listrik, mahalnya teknologi pertanian vertical, sulit berkembangnya energi terbarukan, dan sebagainya.

Penulis juga menyebutkan tentang Gereja Teknologi, yang diartikan sebagai harapan bagi keselamatan umat manusia melalui teknologi. Harapannya adalah kita sudah menguasai teknologi untuk menghadapi krisis global ini ketika saatnya tiba. Meanwhile, tidak seperti dunia nyata, gambar pemandangan yang indah dan langit yang jernih tidak akan berubah di smartphone kita.  Apakah kita telah benar-benar lebih memilih untuk "Memandang layar supaya tak harus melihat planet ini mati." ?

Selanjutnya kemunculan kekuatan baru yang mampu menghapus batas antarnegara demi menjamin kestabilan sumberdaya bagi penduduk bumi mulai mencuri perhatian global. Iklim X (Climate X) merupakan bentuk persekutuan global yang nantinya bekerja sama demi kepentingan umat manusia, walaupun di sisi lain muncul kekhawatiran timbulnya premanisme dan kediktatoran. Siapa pun yang menguasai sumber daya akan menguasai dunia. Prediksi penulis ada pada negara Cina dan Rusia sebagai nantinya 'pemimpin' dari konsep ini.

Di akhir buku, penulis yang juga seorang editor profesional ini menjabarkan seluruh artikel yang menjadi referensinya. Nama-nama seperti Yuval Noah Harari, Daniel Kahneman, dan banyak peneliti lain disebutkan dan disitasi dengan jelas. Walau terlihat depresi, isi buku ini sebenarnya bisa kita jadikan motivasi dan renungan tersendiri. Bahwa pada akhirnya manusia harus sadar bahwa kita hanya punya satu rumah, yaitu bumi ini.

"Ternyata masalahnya bukan jumlah manusia terlalu besar, melainkan kekurangan kemanusiaan. ... . Jika kemanusiaan adalah kapasitas bertindak bermakna dalam lingkungan kita, maka kita sebenarnya belum atau tidak menjadi manusia." (Sam Kriss & Ellie Mae O'Hagan, Tropical Depressions, 2017)

See you at my next review. Feel free to comment, react even follow for future updates. It will be much appreciated =)

Semoga kebahagiaan membaca selalu menginspirasi kita semua.

Penilaian untuk Buku : 4/5 bintang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun