Dor!
Perlahan, sosok di hadapanku tumbang. Kutiup ujung pistol yang masih berasap. Sudut bibir kiriku tertarik ke atas. Kini, telunjuk kananku kian piawai menarik pelatuk. Kutekan ujung topi, gegas menuju pintu keluar.
"Cepat Bos!" Bill setengah berbisik
"Tancap!" Kututup pintu mobil, segera Bill menginjak gas. Kulirik kotak perhiasan disampingku sambil menyulut sebatang rokok.
"Fiuhh.." Kubanting tubuhku di sofa, genap sebulan, merampok dan membunuh jadi agenda harianku. Kenapa? Kau takut dan terkejut? Ck..sebenarnya aku juga terkejut dengan nyali yang makin menggila ini. Awalnya aku terpaksa, tapi kini aku terlanjur menikmatinya. Kuingatkan kau, jangan coba coba memamerkan kekayaanmu di depanku. Berani kau coba melakukannya, itu berarti kau menempah maut denganku.
Awalnya, telunjuk kananku kerap gagal juga menarik pelatuk. Kagagalan menarik pelatuk itulah yang paling kutakuti. Mungkin kau tak percaya, dulunya aku ini lelaki pecundang. Bahkan, aku tak bernyali untuk mendekati perempuan yang kutaksir. Kau menertawakanku? Tak apa. Padahal, jelas -- jelas perempuan itu menggilaiku. Lewat bantuan seorang teman, aku berhasil menyampaikan perasaanku pada perempuan berambut keriting itu. Hasilnya? Bisa kau tebak. Perempuan itu merah padam saking senangnya, ha..ha..
Sayangnya, itu tak berlangsung lama. Perempuan itu berubah haluan, mendekati lelaki paro baya yang berdompet tebal, karena saat itu dompet lusuhku nyaris selalu tipis. Menangis? Tidaklah..kupikir, air mataku terlalu berharga untuk menangisi perempuan itu. Kuharap, tidak semua perempuan seperti dia.
Sejak itu, aku tak percaya cinta itu benar -- benar ada. Kupikir, cinta hanya hal sepele yang enggan mencapai garis finis. Â Pasti kau tak sependapat denganku kan? Boleh saja. Ah..aku hampir lupa. Namaku Jauhari, panggil saja Jau. Saat ini, aku menjadi buronan yang paling dicari. Lewat sekali pandang, kau tak kan percaya jika aku pembunuh. Wajahku tak hanya tampan, tapi juga teduh. Baiknya kau jangan menemuiku, aku khawatir kau akan menyukaiku. Pembunuh berdarah dingin! Bill menyebutku.
Siang hari waktunya untuk tidur. Tapi, Bill mengajakku keluar untuk minum kopi. Kukenakan kemeja abu -- abu lengan panjang motif garis, kupadu dengan celana dasar hitam. Kudapati pantulan diriku di cermin, ck..ck..aku tak ubahnya eksekutif muda. Kuperiksa isi dompet, memastikan identitas palsu ada di dalamnya. Muhammad Salman Maulana, wuih..nama samaranku terdengar gagah kan?
Bill mengenakan jas lengkap, kepala botak ia pamerkan. Karena, saat beroperasi ia selalu mengenakan topi, begitu juga aku.
"Kedai kopi ini nyaris selalu ramai" Bill memarkir mobil