Mohon tunggu...
Pandji Kiansantang
Pandji Kiansantang Mohon Tunggu... Penulis - "Bahagia Membahagiakan Sesama"

Menulis itu Membahagiakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belanja, Ditambah Berkah

30 November 2018   06:10 Diperbarui: 30 November 2018   06:55 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : Dokpri

 "Gue yang punya uang, terserah gue dong mau belanja dimana...". Benar, itu HAK Konsumen. Tak bisa dipaksa bagaimana dan dimana harus membeli barang kebutuhannya.

Tapi bagaimana, kalau kita DAPAT memberi "nilai tambah" pada aktivitas berbelanja kita? Nilai-tambah di sini BUKAN bersifat untung rugi keuangan... karena menjadikan belanja bukan lagi sekedar Transaksi ekonomi...

Pilihan cara belanja di sini adalah untuk MEMBANTU golongan ekonomi lemah.

Beberapa cara yang mungkin pernah Anda dengar atau mungkin sudah Anda lakukan :
seperti : Lebih memilih belanja di pasar tradisional daripada di supermaket atau minimarket.

Cara lain adalah TIDAK MENAWAR harga yang cukup masuk akal dari pedagang kecil. Contohnya kemarin pagi, ketika bersama Pembantu sedang merapikan taman di depan rumah, lewatlah pedagang alat kelontong keliling. Kebetulan Sapu Lidi di rumah rusak. Sayapun membeli Sapu Lidi pada penjual keliling itu.
"Berapa harganya, Pak?" kataku... "30 ribu" jawabnya...
Tiba-tiba Pembantu menawar "15 ribu ya"....
Sayapun tetap membayar Rp 30 ribu. Pembantu saya protes, katanya harga itu "kemahalan"... "Bapak tidak bisa nawar" ledeknya.

Setelah pedagang itu pergi, saya menjelaskan bahwa itu adalah "harga yang wajar" mengingat Bapak itu harus berjalan keliling sambil mendorong gerobak isi dagangan yang berat. Pernah bayangkan capainya dia di tengah teriknya matahari?
"Berapa sih untungnya dari sapu lidi itu?... paling beberapa ribu... yang mungkin langsung habis untuk  beli makan siangnya.

Saya jelaskan "Apa kita kalau beli di Supermarket atau Minimarket MENAWAR?" Kan tidak... harganya sudah pas... tinggal bayar". Nggak protes, nggak nawar tuh.
Kenapa kalau beli di pedagang kecil, kita merasa HARUS MENAWAR? Kadang dengan setengah harga... Jika tawaran kita disetujui, maka kita PUAS, merasa  pintar nawar dan MENANG dalam proses tawar menawar ?

Coba kalau di pasar tradisional pada siang hari, kita menawar "setengah harga" pada penjual ikan... Kita berargumen ikannya sudah tidak fresh lagi, inilah, itulah.. untuk "memaksa" si penjual "menyerah"... walaupun terpaksa harus "jual rugi".

Seandainya kita menempatkan diri pada posisi si pedagang kecil, apakah kita masih TEGA? Bisa jadi si Penjual dengan muka masam terpaksa merelakan jual rugi... Amit-amit, dia "nyumpahin" kita...

Beda banget, kalau kita lebih BERMURAH HATI dengan mengiyakan harga yang ditawarkan sepanjang itu wajar. Kunci mulut kita untuk JANGAN MENAWAR walau seribu perak bahkan seratus perak... Niatkan saja sebagai AMAL kita untuk MEMBANTU Pedagang kecil...

Semoga  mendapat ridho dari si penjual, bahkan ada yang mendoakan... seperti beberapa Tukang Parkir yang bersyukur atas uang parkir dari kita dan mendoakan "Hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan"...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun