Mohon tunggu...
P Joko Purwanto
P Joko Purwanto Mohon Tunggu... Teacher

Becoming added value for individual and institute, deeply having awareness of personal branding, being healthy in learning and growth, internal, external perspective in order to reach my vision in life, and increasingly becoming enthusiastic (passion), empathy, creative, innovative, and highly-motivated.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Harapan bagi yang Lemah dan Tersisih: Tahanan dan Orang Sakit - Katekese Juli 2025

28 Juni 2025   22:15 Diperbarui: 28 Juni 2025   22:15 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Harapan bagi yang Lemah dan Tersisih: Tahanan dan Orang Sakit - Katekese Juli 2025/Dokimen Pribadi)

Pengantar 

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dikelilingi oleh kenyataan yang menguji harapan kita: ketidakadilan sosial, penderitaan yang tak kunjung usai, dan mereka yang tersisih dari kasih dan perhatian sesama. Bulan ini, Juli 2025, Gereja mengajak kita untuk memusatkan perhatian pada mereka yang sering dilupakan: para tahanan dan orang-orang sakit. Mereka bukan hanya objek belas kasihan, tetapi juga subjek harapan yang hidup.

Mereka yang berada dalam penjara, walau secara hukum menjalani konsekuensi dari tindakan mereka, tetaplah pribadi-pribadi yang memiliki martabat sebagai citra Allah. Demikian pula, orang-orang sakit yang bergumul dengan kelemahan tubuh atau batin adalah mereka yang memperlihatkan wajah Kristus yang menderita. Dalam Matius 25:35-40, Yesus bersabda,

Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.

Sabda ini bukan hanya perintah, tapi juga jendela ilahi: bahwa dalam setiap penderitaan, Tuhan hadir, dan dalam setiap kunjungan, kasih Kristus menjelma nyata.

Rasul Paulus dalam Roma 5:5 juga mengingatkan kita: "Pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." Harapan yang sejati bukanlah sekadar optimisme, melainkan kekuatan batin yang bersumber dari relasi dengan Kristus yang bangkit. Bahkan dalam penderitaan, harapan tetap menyala karena kasih Allah melampaui batas manusiawi kita.

Maka dari itu, marilah kita masuk dalam katekese ini dengan hati terbuka: merenungkan bersama bagaimana kita dapat menjadi saksi pengharapan di tengah dunia yang penuh luka. Kita diundang bukan sekadar untuk memahami, tetapi menghidupi; bukan hanya untuk merasa iba, tapi bertindak dalam kasih.

Dengan semangat Yubileum 2025 yang diangkat Paus Fransiskus dalam Spes Non Confundit, mari kita belajar bahwa tindakan pengampunan dan kunjungan kasih kepada mereka yang paling lemah adalah pintu masuk kepada pengalaman pengharapan sejati. Mari kita berjalan bersama, menyelami makna harapan yang berakar dalam kasih dan menjelma dalam tindakan konkret.

Katekese Pendalaman Iman

Pengharapan kristiani adalah harapan yang tidak tergantung pada hasil, namun tertambat pada kehadiran Allah yang setia. Dalam Spes Non Confundit, Paus Fransiskus mengingatkan bahwa tanda-tanda pengharapan mesti tampak nyata, terutama bagi para tahanan dan orang sakit. Harapan menjadi nyata bukan dalam abstraksi, tapi dalam wujud pengampunan dan belas kasih.

Yesus sendiri menjadikan penderitaan manusia sebagai tempat perjumpaan dengan kasih Allah. Dalam pelayanan-Nya, Ia menjamah orang kusta, menyembuhkan yang lumpuh, dan menyapa mereka yang terbuang. Sikap Yesus menyingkapkan bahwa penderitaan bukan akhir dari segalanya, tetapi jalan menuju penghiburan dan pemulihan dalam kasih.

Kita renungkan kisah inspiratif berikut ini:

Di sebuah kota kecil di lereng pegunungan, tinggal seorang pria lanjut usia bernama Pak Ignatius. Ia bukan imam, bukan bruder, bahkan bukan tokoh awam yang dikenal banyak orang. Ia hanya seorang pensiunan pabrik pengolahan kayu lapis yang menjalani hari-harinya dengan doa, berkebun, dan menghadiri misa harian. Namun suatu hari, saat mendengar bahwa seorang kenalannya dipenjara karena kasus kecil, hatinya terusik. Ia memberanikan diri untuk berkunjung—tanpa tahu bahwa langkah sederhana itu akan menjadi permulaan sebuah perjalanan pengharapan.

Kunjungan pertama terasa canggung. Ia hanya duduk, mendengarkan, dan mengangguk. Tapi keesokan harinya, ia kembali. Dan hari berikutnya, dan seterusnya. Bukan hanya kepada kenalannya, tetapi kepada tahanan lain yang mulai menyapanya. Ia tidak memberi ceramah, hanya membawa telinga yang bersedia mendengar dan mata yang tak menghakimi. Lambat laun, para narapidana menyebutnya "Romo yang tidak berjubah"—karena kehadirannya membawa kedamaian, seperti seorang gembala.

Salah satu narapidana berkata, "Pak Ignatius itu berbeda. Ia tidak melihat masa lalu kami, tapi masa depan kami." Karena kasih yang dibawanya, Pak Ignatius dipercaya memfasilitasi sesi doa, mendampingi sakramen tobat, bahkan menjadi jembatan antara napi dan keluarga mereka yang renggang. Ia mulai mengajak jemaat paroki untuk menulis surat penyemangat, mengumpulkan pakaian layak pakai, dan akhirnya membentuk komunitas doa bagi para tahanan.

Pak Ignatius tidak pernah berpikir bahwa dirinya sedang menjalankan sebuah misi besar. Ia hanya mengikuti bisikan hati yang ingin mendekap mereka yang tersingkir. Dalam dirinya, orang melihat gambaran Kristus yang hadir dan berjalan di tengah penderitaan. Dari kisah ini, kita diingatkan: satu kunjungan kecil dapat menjadi api yang menghangatkan hati beku; satu tindakan tulus dapat menjadi pintu harapan di ruang paling gelap.

Cerita Pak Ignatius bukan dongeng, bukan legenda. Ia nyata—dan menjadi cermin bagi kita semua. Bahwa siapa pun kita, apa pun latar belakang kita, kita dapat menjadi alat penghiburan dan saluran kasih Allah. Gereja bukan hanya di dalam tembok sakristi, tetapi di dalam langkah sederhana yang kita ambil untuk hadir, mendengar, dan mengasihi mereka yang dunia anggap tak layak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun