(Substack Home -Petrus Pit Duka Karwayu)
Â
Sucede que me canso de ser hombre. Tapi lelah, dalam bahasa Pablo Neruda, bukan sekadar letih. Ia semacam muak yang ditanam di bawah tulang rusuk---di tempat yang bahkan doa pun enggan singgah. Camus menyebutnya absurditas: ketika dunia tak menjawab, dan manusia terus bertanya. Seperti berteriak di tengah gua yang sudah mati gema.
Manusia, katanya, adalah makhluk yang menuntut makna, dalam dunia yang tidak memberikannya. Dan itu---ironisnya---adalah definisi penderitaan.
Aku tak tahu sejak kapan menjadi manusia berarti harus mengerti. Sejak kapan hidup harus punya arah. Sejak kapan tawa harus berarti bahagia, dan diam harus berarti terluka. Sejak kapan tidur dianggap pelarian, bukan hak. Sejak kapan keberadaan harus dijustifikasi.
Nietzsche menulis dalam Die frhliche Wissenschaft: "Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn gettet!"
(Tuhan sudah mati! Tuhan tetap mati! Dan kitalah yang telah membunuh-Nya!)
Tapi barangkali, yang benar-benar mati bukan Tuhan. Melainkan kesanggupan manusia berdamai dengan kekosongan. Lalu kita ciptakan sistem. Kita isi kehampaan dengan nilai, moral, agenda---agar kita tak gila. Padahal di balik semua itu, ada kehampaan yang tetap dingin, seperti logam dalam kuburan.
Pengkhotbah lebih jujur. Ia tidak menawarkan langit, tidak juga neraka. Ia hanya berkata:
(Havel havalim, amar Kohelet, havel havalim, hakol havel)
"Kesia-siaan belaka", kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, "segala sesuatu adalah sia-sia".
Uap. Kabut. Embun yang tak pernah bisa digenggam. Orang bijak dan orang bodoh akan mati sama saja. Dan tak ada yang mengingat.