Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Teologi Setelah Auschwitz

19 Januari 2020   09:33 Diperbarui: 19 Januari 2020   09:40 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: vox.divinity.edu.au

Johann Baptist Metz, teolog Katolik dari Mnster yang dipengaruhi oleh Auschwitz dapat dijadikan representasi menjawab teodise Auschwitz. Ia mengatakan demikian "ask yourselves if the theology you are learning is such that it would remain unchanged before and after Auschwitz. If this is the case, be on your guard". 

Aturan Metz harus dianggap serius karena dua ciri teologi Kristen tradisional sebetulnya melanggengkan gerakan antisemitisme. Pertama, klaimnya bahwa orang-orang Yahudi dikutuk oleh Tuhan. Kedua, ideologi supersessionist ini, menginspirasi dan memperkuat praktik anti-Yahudi yang diwujudkan dalam khotbah, pengajaran, dan pembentukan identitas. 

Maka teologi setelah Auschwitz dari perspektif kristiani, juga merupakan pertanggungjawaban atas tragdi kemanusiaan ini. Dua frasa terkenal Metz, "Kita dapat berdoa kepada Auschwitz, karena juga di Auschwitz didoakan", dan "kami tidak pernah kembali ke belakang Auschwitz. Di luar Auschwitz kami tidak pernah datang sendirian, tetapi hanya dengan para korban Auschwitz", menjadi inspirasi dalam dialog Kristen-Yahudi sebagaimana yang termaktub dalam Nostra Aetate salah satu dokumen Konsili Vatikan II. 

Metz menentang ideologi atau teologi apa pun dari Auschwitz. Tetapi Auschwitz dapat membawa kita kembali ke bahasa doa yang Alkitabiah hampir terkubur. Sebuah bahasa penderitaan seperti yang terdapat dalam Mazmur Ratapan yang menyimpan keluhan, tuduhan, bahkan pemberontakan melawan Allah. 

Metz menyebut ini sebagai bahasa mistisisme penderitaan Allah (God-mysticism), pertanyaan-pertanyaan penderitaan yang lahir dari tengah-tengah penderitaan, dan bahasa tersebut ditujukkan kepada Allah. Metz tergerak oleh pertanyaan Ayub tentang keadilan bagi para penderita yang tidak bersalah. Pertanyaan teodise mengapa adalah pertanyaan utama dari teologi. 

Metz berupaya menjawab tuduhan orang Yahudi atas kematian tak bersalah mereka di negara berbasis kristen dengan jawaban yang sangat frontal, "kami dulu berbicara tentang penderitaan yang tidak bersalah sama sekali". Oleh karena itu bagi Metz, Kristologi sebagai soteriologi membungkam pertanyaan teodise. Kita harus mengajukan pertanyaan mengapa dengan Kristus di kayu salib, mari kita akui pertama-tama. 

Jika kita berbicara terlalu banyak dan terlalu cepat tentang peran keselamatan yang diduduki Kristus, dan bukan tentang mistisisme Tuhannya, bahkan mistisisme Tuhannya yang menderita, maka kita menjadi tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Bukan pertanyaan Luther "bagaimana saya mendapatkan Tuhan yang ramah" adalah inti dari pemikiran teologis saat ini, tetapi pertanyaannya, mengapa gunung penderitaan ini?

Gunung-gunung penderitaan yang disebut Metz ini tidak boleh dijelaskan oleh Allah yang menderita secara kristologis, bahkan triniter. Dia berkata, "Tidak ada rekonsiliasi dengan Tuhan di belakang sejarah manusia tentang penderitaan". Tesis ini lebih pada ketakutan Metz bahwasannya estetika rahasia dari penderitaan menjadi sebuah pengabadian dari penderitaan umat manusia. 

Duka tidak mengenal kedaulatan, penderitaan lebih tepatnya ingin diperjuangkan. Metz juga mengkritik pembicaraan singkat tentang kemahakuasaan Tuhan. Semua klaim tinggi tentang Tuhan dan Kristus harus diberikan janji akan masa depan: kami berharap Tuhan akan menunjukkan kemahakuasaan-Nya bahwa Yesus akan menjadi Mesias yang diharapkan, bahwa Tuhan akan menjadi Tuhan. Di sini dan hari ini kita hanya dapat berbicara tentang kuasa Allah. Hanya seruan apokaliptik yang tersisa bagi kita: Tuhan, di manakah Anda?

Demikianlah pertanyaan-pertanyaan Auschwitz yang kendati dijawab namun tetap menyisihkan pertanyaan yang lainnya. Diskusi pro dan kontra menggambarkan suatu kerprihatinan yang rill dan serius dari setiap orang yang mau bercerita termasuk merumuskan teologinya setelah Auschwitz. Bersama Auschwitz, jika ada teologi yang terpisah dari masyarakat dan kondisi mereka, maka sebaiknya teologi tersebut berhenti untuk ada. 

Saya sendiri menyadari bahwa penggambaran mengenai Auschwitz dalam skripsi ini tidak mewakili tragedi Auschwitz karena terpisah jarak dan ruang serta waktu dari konteks tersebut. Namun pembacaan terhadap ragamnya teks yang kendati terbitan terkini, 'nafas penderitaan Auschwitz' masih berteriak, melahirkan suatu amarah dalam diri untuk terus menyuarakan tentang kemanusiaan yang terkadang menjadikan Allah tertuduh berulangkali dalam forum teodise. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun