“Kami mendapatkan informasi di Desa yang kami kunjungi, mereka (masyarakat) terakhir kali melihat orangutan pada tahun 1980-an”.
Pekan lalu, seperti biasanya di bulan November, tepatnya dari tanggal (13-19/11/2016) Yayasan Palung memperingati Pekan Peduli Orangutan. Ragam kegiatan yang kami Yayasan Palung lakukan terkait nasib orangutan yang sangat terancam punah, salah satunya dengan melakukan kampanye penyadartahuan kepada masyarakat dan dilingkup sekolah dengan berbagai kegiatan.
Dalam penyadartahuan (kampanye) tentang satwa dilindungi di masyarakat dalam rangka PPO 2016, tidak sedikit tanggapan positif dari kegiatan yang kami lakukan. Benar saja, melalui diskusi dalam kegiatan ekspedisi pendidikan lingkungan dan media kampanye, pada 17 November 2016 yang melibatkan masyarakat di desa Sinar Kuri, Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang, Kalbar.
Kami mendapatkan informasi di desa tersebut mereka (masyarakat) terakhir kali melihat orangutan pada tahun 1980-an. Namun saat ini,tidak ada lagi dikarenakan salah satunya oleh perburuan untuk di konsumsi. Selain juga karena disebabkan hilangnya hutan karena konversi perusahaan sawit.
Selain itu juga, potensi lainnya dari Desa tersebut antara lain adalah anyaman tikar dari bahan sengkuang (rumbia) dan terdapat potensi dari Hutan Lindung Balai Antu, Bukit Kuri yang bisa menjadi potensi wisata karena keindahan Bukit Kuri yang gagah menjulang tinggi dan indah dipandang mata.
Masyarakat di Desa Sinar Kuri, Masyarakat berterima kasih kepada Yayasan Palung Karena telah memberikan penjelasan tentang berbagai informasi yang berkaitan dengan konservasi dan undang-undang tentang larangan perburuan satwa sehingga mereka merasa lebih paham.
Saat kami bertanya, apakah adek-adek pernah melihat orangutan? Beberapa diantara menjawab pernah dan sebagian besar belum pernah melihat langsung. Selanjutnya kami bertanya, apakah diantara kita yang ada di ruangan ini pernah memakan orangutan? Salah seorang ibu guru mengatakan pernah memakan orangutan ketika ia masih kecil atau boleh dikata sekitar 28 tahun yang lalu.
Dalam diskusi dengan masyarakat di Desa Mekar Raya, kami mendapat beberapa informasi diantaranya; Bapak Linus dan Bapak Japin, mereka mengatakan di Desa Mekar Raya terdapat Hutan Lindung Gunung Juring, di lahan yang berbatasan dengan hutan lindung tersebut terdapat lahan milik masyarakat “Bawas”, mereka mempertanyakan apakan boleh dipakai? Mengingat, ada kebun, pohon buah (durian dll), selain itu juga, di wilayah tersebut masih ada terdapat binatang seperti burung ruai, kijang, kelempiau dan mungkin juga terdapat orangutan. Tetapi menurut mereka, di wilayah tersebut sudah sangat jarang sekali orangutan ditemui atau menampakkan dirinya.
Selain itu, Ignasius Kamila Hendi, salah seorang tokoh muda di desa Mekar Raya mengatakan, masyarakat belum tau status hutan lindung atau SK, perlu tau petanya juga, yang disimpan arsipnya di kantor desa. Jika konservasi bawas masyarakat perlu dibahas dan ditelaah ulang. Hingga saat ini dinas kehutanan tidak ada membuat pos, dan belum ada monitoring. Pemanfaatan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalam hutan, sesungguhnya masyarakat mengikuti undang-undang yang berlaku. Pengurangan dan kerusakan hutan terjadi di wilayah desa tersebut lebih lanjut menurutnya karena perkebunan kelapa sawit.
Lebih lanjut, menurut bapak Atek yang merupakan Kaur Desa Mekar Raya mengatakan, Masyarakat mengharapkan ada penjelasan dari Dinas Kehutanan tentang Hutan Lindung Gunung Juring. Masyarakat juga membutuhkan sharing pengalaman dari pihak luar terkait persoalan-persoalan lingkungan.
Tidak hanya itu, menurut Bapak Leon, salah seorang warga di Mekar Raya mengatakan Hutan Lindung Gunung Juring, sejatinya sudah diketahui masyarakat sejak tahun 1989. Namun warga menganggap hutan lindung tersebut belum sah karena tidak ada SK, sebelum adanya hutan lindung, masyarakat sudah membuka lahan kebun disana. Terkait hutan lindung pernah ada satu kali bantuan pembibitan, harapannya tidak hanya satu kali saja, tetapi setiap tahun untuk berkegiatan, tegasnya lagi.
Di Desa Mekar Raya, menurut Bapak Ado Neti salah seorang tokoh masyarakat mengatakan; hutan yang ada di wilayah mereka saat ini sangat membantu masyarakat. Sumber air bersih sangat melimpah di sini, hal ini tidak terlepas dengan kearifan budaya dan tradisi masyarakat untuk menjaga hutan masih ada, ungkap Niti demikian ia disapaan sehari-hari. Lebih lanjut, Kakek berumur 53 tahun tersebut menjelaskan di wilayah Mekar Raya, ada hutan dan sungai keramat, selain air yang terjaga, ikan-ikan di sungai keramat bernama Tanikng tidak boleh diambil sejak dulu. Hingga saat ini, masyarakat mempercayai, jika ada orang yang mengambil ikan di wilayah keramat tersebut akan menanggung resiko, bahkan tidak tidak main-main karena bisa sakit keras atau bahkan meninggal bila mengambil ikan di wilayah tersebut.
Semua rangkaian kegiatan berjalan sesuai dengan rencana dan mendapat sambutan baik dari masyarakat dan pihak sekolah. Semoga di tahun-tahun mendatang, kegiatan seperti ini masih boleh kami lakukan.
Petrus Kanisius-Yayasan Palung