Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sekolah Tanpa Stress, Masih Adakah!

23 April 2017   08:57 Diperbarui: 23 April 2017   18:00 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Problematika utama pendidikan di Indonesia bukan terletak pada bahasa, pergaulan sekolah, melainkan dipusingkan oleh urusan biaya begitu mencekik leher. Bayangkan saja untuk mendaftar disalah satu sekolah swasta orang tua murid setidaknya harus merogoh kocek lebih dalam, kisaran Rp. 25 juta rupiah otomatis mengalir ke pihak sekolah belum termasuk biaya administrasi lainnya.

Kelihatannya dari beberapa sekolah bonafit masih ada keengganan dari pemilik ‘kepentingan’ untuk mementingkan kualitas pendidikan dari pada kepentingan profit belaka, sehingga dispensasi biaya sekolah, khususnya sekolah swasta terus naik melejit ke langit.

Tetapi sekolah tingkat negeri pun tak lepas dari pungli, dalam kehidupan sehari-hari anak anak sekolah belum sepenuhnya menikmati pendidikan layak, pihak sekolah terkadang memaksa siswanya membayar iuran yang sifatnya tidak resmi. Kiasan sukarela, seikhlasnya menjadi senjata ampuh oknum guru untuk memaksa anak siswa membayar. Karena itu, ketegasan pemerintah pusat dalam menggulirkan regulasi sekolah gratis tidak sepenuhnya dipatuhi pihak sekolah. Memang tidak banyak, jika pungutan tadi dilakukan setiap bulan tentu akan memberatkan, ibarat kata “sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.”

Karena itu, guna memberi efek jera Pemerintah Pusat perlu mengambil langkah strategis untuk mengevaluasi sekolah-sekolah atau kepala daerah yang “membandel” membebani orang tua siswa dengan segala tetek bengeknya. Hanya segelintir kepala daerah saja yang memimpin dengan hati sebagai negarawan yang tidak mau berkompromi dengan “mafia” dalam mencari keuntungan di tengah karut marutnya pperekonomian negeri kita. Mereka itu anak-anak yang memiliki dunianya sendiri jangan dibebani oleh hal-hal sifatnya merusak minat anak-anak mengenyam pendidikan. Mereka juga memiliki cara pandang tersendiri dan kegemaran sendiri dalam berekspresi disekolah tanpa stress.

Biaya operasional sekolah memang dibutuhkan akan tetapi, jangan manfaatkan biaya operasional tersebut dalam kepentingan pribadi dan golongan tertentu memperkaya diri. Apalagi anak anak sekolah sudah dibuat stress oleh pelajaran-pelajaran dan ujian sekolah, ada baiknya pihak guru memberi peluang beasiswa setinggi-tingginya bagi siswa yang berprestasi. Hal ini diperlukan, selain nama baik sekolah jerih payah siswa merasa diapresiasi dan itulah yang dinamakan sekolah tanpa stress.

Orang tua siswa akan sangat berbahagia kalau di tempatnya sekolah tadi betul-betul mengaplikasikan sebuah kata “gratis” dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi sekolah di Indonesia dimana pun berada kurang lebih sama saja. Jika di Sekolah  satu dipungut iuran, maka di sekolah lain pun sama, selisihlah bedanya. Dampaknya bukan hanya orang tua, anak sekolah pun stress, akibat iuran dan ujian yang mengancam masa depan apabila siswa/wi apabila tidak lulus sekolah, kalau sudah begini siapa yang paling bertanggungjawab atau malah bertanggungjahat?. Buktinya hanya segelintir guru saja yang merasa prihatin atas nasib kepada orang tua akan ketidak lulusan siswa/wi.

Anak-anak bukan orang tua “perahan” beberapa sekolah unggulan baik negeri maupun swasta, lain cerita ketika mendapati anak-anak borjuis, sebesar apapun iuran yang dikluarkan pihak sekolah baginya sangatlah mudah. Mereka ingin menikmati dunia pendidikan dengan cara anak anak. Cara berpikir yang penuh warna, imajinatif, alami dan murni begitulah dunia pendidikan idaman anak anak sekolah berbasis tanpa stress.

Pendidikan tak usah terlau banyak kata. Pendidikan bukan khotbah. Lakukanlah, amalkanlah, tradisikanlah semua yang baik, ini filosofi yang paling mendasar.

Makassar, 23 April 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun