Mohon tunggu...
Pipiet Senja
Pipiet Senja Mohon Tunggu... profesional -

Seniman, Teroris Tukang Teror Agar Menjadi Penulis, Pembincang Karya Bilik Sastra VOI RRI. Motivator, Konsultan Kepenulisan, Penyunting Memoar: Buku Baru: Orang Bilang Aku Teroris (Penerbit Zikrul Hakimi/ Jendela)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tante Girang Ciuman Dengan Babe Gw!

18 September 2011   22:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:50 2028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Raja melongo. Sejak kapan anak itu mengawasi kejadian di sini?

“Anak kecil jangan ikut campur! Sana, pergilah!” sergah Laloan dan mendorong tubuh imut-imut itu hingga bergeser.

“Pokoknya… Kakak jahaaat!” teriak Keke pula lantang.

“Jangan cari masalah, anak kecil!” Teriak Laloan sambil berlalu.

Kemudian ia berlari-lari kecil menuruni undakan tangga, melingkar-lingkar indah berkarpet beludru merah darah.

Sudah janji di kafe favorit bareng gengnya!

Keke tak peduli, ke kamar Raja. Ia berdiri di depan remaja yang masih kaget dan kesakitan itu dengan mimik kasihan.

“Dipukul lagi sama Kakak, ya? Kakak jahat terus, ya Bang?”

Raja mengernyitkan sepasang alisnya. Bangkit berdiri, tapi refleks mengelak ketika makhluk imut-imut itu hendak membantunya. Dalam hati ia harus mengakui akan kepedulian Keke terhadap dirinya. Yeah, anak kecil ini entah untuk ke berapa kalinya memergoki kejahilan si Laloan.

“Kok Abang gak kasih tau Papi…Mami?”

Sepasang matanya yang bening menatapnya lekat-lekat. Sepasang mata yang mengingatkan Raja kepada adik perempuannya.

Butet, lagi apa kamu sekarang? Jadi ikutan sanlat di Darut-Tauhid? Pasti gak bisa. Kamu harus nunggu Mama di rumah sakit!

“Bang Raja…?” lirih Keke menegur lagi.

Raja tersentak. Seketika dia sungguh merasa tak nyaman sama sekali!

Ugh! Anak ini apa sudah paham kedudukannya?

“Pergi gih, sana, pergi!” usir Raja tiba-tiba merasa marah akan ketidak nyamanan dan ketidakberdayaan. Didorong-dorongnya tubuh mungil itu agar keluar dari kamarnya.

Keke nyaris terjengkang, kalau Pak To tak segera menyambarnya bersamaan dengan bunyi berdebam di belakang punggungnya.

“Jangan begitu toh, Den! Dia anak kecil yang gak punya dosa!”

Raja menutup kedua kupingnya rapat-rapat.

Anak itu pantas matiii!

Liburan anak-anak masih beberapa hari lagi. Maria mengajak keluarganya refreshing ke Anyer. Tak ada yang berani menolaknya. Raja terpaksa harus ikut, karena diancam ayahnya tidak jadi didaftarkan ke SMA favorit yang diinginkannya.

Padahal Raja sudah niat kepingin masuk sekolah itu. Soalnya dia berharap bisa bertemu lagi dengan Icha. Cewek Cimahi imut-imut yang dikaguminya sejak kelas enem SD. Mereka pernah bareng sanlat beberapa tahun yang lalu.

Ambil sisi baiknya, Raja. Kamu tahu, Icha kan pindah ke Jakarta juga. Kabar-kabarinya dari Tante Ami, cewek itu mau masuk SMA incarannya.

“Kamu baru beli resor kelas melati di sini. Bagus, ada pub, kafe, karoke dan kolam renangnya,“ kata Maria.

“Kau memang semakin berkibar sebagai seorang pebisnis, Darling,” puji Mardo terdengar naif. “Sementara aku, sekarang praktis pengangguran, pensiunan dini…”

“Kita bisa mengelolanya bersama,” Maria menukas keluhannya dari belakang kemudi BMW-nya. Dikerlingnya lelaki sebaya ayahnya itu dengan mesra.

“Kita?’

“Ya, tentu saja kalau Darling tahu kan, aku sudah terlalu banyak urusan di Jakarta dan Manado.”

“Sungguh nih?” Mata lelaki itu berbinar-binar.

“Tentu saja, ini satu bukti aku sangat percaya padamu. Darling.”

“Aku tak tahu harus bagaimana berterima kasih kepadamu…”

“Ketulusanmu untuk berbagi tempat denganku dan Keke, cukuplah…”

Aha, ketulusan katanya? Berarti harus mengorbankan keluarga lain, menghancurkan hati Mama, Butet dan gue!

Entah untuk ke berapa kalinya Raja meradang hebat dalam hati.

Sekarang perempuan itu tanpa malu mengecup pipi ayahnya!

Di bawah sorot mata ketiga makhluk di jok belakang. Raja terperangah. Laloan berdehem-dehem keras. Keke yang semula asyik mengajak bicara Barbie seketika menjerit manja.

“Keke mau pindaaah!”

Ketika anak perempuan itu meloncat ke tengah-tengah Mami dan Papinya, Raja kemudian berlagak sibuk dengan novel di tangannya. Laloan memperbaiki earphone di kupingnya. Berlagak acuh tak acuh dengan walkman-nya. Sesungguhnya ingin saja dia meneriaki si tua bangka di samping tantenya, menumpahkan seluruh perbendaharaan kata terburuk yang dimiliki memorinya.

Tua bangka kampungan! Pengeretaaan! Gak tau maluuu!

Maria tiba-tiba mengingatkan kemenakannya. “Laloan, kamu gak boleh macam-macam di resor Tante, ya!”

“Apa maksud Tante?” Laloan bertanya dengan nada tersinggung.

“Maksud Tante, kamu tak ada kesempatan bela diri lagi kalau masih berhubungan dengan si Jerry! Janji?”

“Yeah …, terserah Tante!” dengus gadis itu sebal.

Tante kuno! Si Jerry itu cuma mainan semusim liburan. Pas sekolah urusannya sudah lain. Ups, sekolah!

“Kalo jadi masuk sekolah gue,” sentaknya tiba-tiba. Sekonyong-konyong disambarnya novel itu dari tangan Raja. Sreet!

“Heeeiii?!”

“Kayak ginian ini nih…bikin malu aja!”

Karuan Raja meradang dan menatapnya nyalang. “Balikiiin!”

Laloan terkikik geli. Dia paling senang kalau lihat Raja sok galak. Padahal dia tahu persis anak udik ini, cengeng! Nangis sambil dengerin lagu Linkin Park atau Avril Lavigne. Nyentrik apa norak?

Huuu! Laloan lebih suka mencapnya norak. Nyentrik itu lebih mencerminkan kreativitas ekses dari kejeniusan. Begitu biasanya!

Tapi anak udik ini pasti jauh lebih norak dan bego dari bokapnya!

“Emang apa sih asyiknya baca novel sampah begini?” Laloan mengibarkan novel Sembilan Ribu Bintang dengan mimik sangat melecehkan.

Raja semakin geram. Itu novel teranyar karya ibunya!

“Dengerin, ya anak kota!” desisnya dengan wajah merah padam menahan marah.

“Oyeee?” Laloan kian mengejeknya.

“Itu bukan novel sembarangan. Karya teranyar ibuku yang banyak tanggapan para sastrawan dalam dan luar negeri. Dijagokan menyabet Asian Award, ooh…Anak kota pasti gak bakalan ngerti apa yang kuomongkan ini. Soalnya otakmu ngeres sama esek-esek melulu seperti yang kalian lakukan di rumah-rumahan tempo hari …”

Bletaaak!

Novel itu dilemparkan dan tepat mengenai jidat Raja!

“An…jriiit!” pekik Raja kaget.

Novel itu meluncur ke kolong kursi. Raja tak peduli dengan rasa sakit, tapi segera sibuk mengambil novelnya di antara kaki-kaki Laloan.

Shiii …Cewek tengil itu menginjak tangannya kuat-kuat!

Bekkk…Raja sukses menyikut keras perut Laloan.

Cewek ginian emang kudu dilawan, hatinya menggeram.

“Aduuuh, setaaan! Whoa!” jerit Laloan refleks menarik dirinya jauh-jauh dari cowok itu.

“Kalian ini…, ada apa lagi sih?”

Maria baru menyadari kehebohan di belakang agaknya. Terlalu sibuk menjelaskan rencana ke depan mengenai bisnis resornya.

“Pasti Kakak lagi,” seru Keke melongok ke jok belakang.

Dilihatnya Raja berlagak sibuk dengan novelnya. Sekarang dijaganya novel itu dengan hati-hati dan sikap waspada dari serangan kilat Laloan. Bibir Keke mengerucut menahan geli. Dia tahuuu!

“Berhentiii, berhentiii! Sialan banget-banget!Gue mo muntaaah…, hikks, ditinju anak setaaan!” jerit Laloan histeris.

Tapi Keke cengiran, kian geli.

“Naah gitu dong, Bang!” matanya mengerdip ke arah Raja.

Dan anak laki-laki itu paham ulahnya dimengerti Keke. Buru-buru dia berlagak cuek- bebek.

Mobil pun berhenti, menurunkan si tengil dengan muntahnya yang dibuat-buat. Mardo berang, menyuruh Raja mengaku perbuatannya. Dan seperti beberapa insiden sebelumnya, Raja akan mematuhinya dengan menjua dengan kalimat yang sama.

“Mohon dimaafkan hamba yang konon sudah bersalah ini, Nona Muda.” Gayanya mau meniru Wong Fei Hung. Bikin siapapun yang melihatnya mesem-mesem, tak bisa menahan geli.

“Abang lucu, kayak Jetliii!” seru Keke terkekeh-kekeh.

“Grrr…awaaaas!” geram Laloan.

Lain kali memang Laloan yang akan membalasnya dengan lebih melukai, perasaan dan kehormatan Raja. Biasanya dia akan menuduh Raja mengambil miliknya. Atau mengata-ngatainya sambil membawa serta nama ibu, adik dan keluarga besarnya di Cimahi.

Kadang Keke berhasil membelanya sehingga hukuman tak dijatuhkan. Tapi Raja hampir yakin, lelaki itu tetap saja akan memojokkannya, baik dirinya bersalah maupun tidak bersalah sama sekali.

Caper dan sok jentel. Padahal sudah jelas-jelas; pecundaaang!

Raja hanya meradang dalam hatinya.

Dia mencoba menikmati segala kemanjaan dan kemewahan yang dipamerkan secara demontstratif oleh ibu tirinya. Sia-sia saja sebab pikirannya bercabang: teringat kepada ibunya, adik perempuannya dan hasrat menumpahkan segala kesalahan yang diyakini bersumber dari ayahnya. Hanya di hati, sebuah kemarahan yang diredam dalam-dalam sendirian.

Suatu ketika Raja merasa sudah merasa menemukan keinginannya!

Hari masih pagi sekali. Dia keluar dari kamarnya dan berlari-lari di tepi pantai. Aneh! Dia melihat sosok kecil itu. “Si anak kucing” yang sering menyelundup ke kamarnya, mencoba menghibur dengan sepasang mata bening mirip milik Butet.

Ngapain di pantai sendirian?!

Anak kecil itu duduk di atas batu karang sambil memeluk Teddy Bear-nya.

Apa dia punya kebiasaan tidur berjalan?

Raja membatalkan jadualnya memutari resor, tapi melesat ke arah batu karang paling curam di antara batu karang lainnya di sekitar situ.

“Kekeee!” serunya menguji.

Tak ada sahutan. Anak itu bergeming. Matanya kelihatan terpejam.

Ini sungguh kesempatan terbaik! Balaskan sakit hatimu, Raja! Ibu anak ini kejam sekali. Dia merebut suami Mama, menghancurkan keluargamu. Tanpa perasaan dia minta kesempatan itu dari Mama. Terus, Mama yang memang salehah dan tahu diri itu mengabulkannya. Tanpa memedulikan rasa sakit yang bisa membunuh dirinya…

Yap! Semua gara-gara ibu anak ini!

“Dia gak punya dosa apa-apa, Den…”

Suara Pak To menggedor nuraninya.

Tapi Raja sudah berada tepat di belakang Keke. Angin pagi meniup perlahan, mempermainkan anak-anak rambut ikal gadis kecil itu. Makhluk kecil ini sungguh cantik bak peri cilik, maniiis dan menggemaskan!

Tangannya terangkat dan huppsss!

Raja berhasil mengangkat tubuh si kecil dengan ringan. Dia mengangkatnya tinggi-tinggi, tinggal melemparkannya ke bawah sana. Gelombang akan segera menelannya hidup-hidup. Tanpa pernah memberinya kesempatan untuk berteriak minta tolong. Task ada saksi, takkan pernah ada yang bisa mengaitkan dirinya dengan insiden ini.

Ya, hanya kecelakaan biasa bukan pembunuhan!


Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun