"Iiih, gak bakalan ada ojek hari ini, tahu!"
"Emangnya kenapa?"
"Yeee... ketinggalan zaman!"
Garsini merengut merasa dikerjain Rika. Spontan tangannya terkepal, menyiapkan pukulan. Hiiiaat! Tak kena. Rika telah bersiap dengan pukulan balasan. Garsini buru-buru berkelit, hingga Rika kali ini memukul ruang hampa. Gadis tomboi itu cengengesan.
Garsini dekat dengan Rika sejak ikut LDK, Latihan Dasar Kader, pada organisasi mahasiswa Islam di Cipayung. Kemudian berlanjut saat mendukung angkatan ‘99 unjuk rasa soal DPKP, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan.
Garsini tersenyum mengenang masa itu. Sudah lesu-lelah demo, sampai memblokir jalan umum segala, tetap saja DPKP-nya tidak diturunkan. Sialnya, kakak-kakak kelas yang semula menggerakkan mogok kuliah dan demo, semua lenyap entah ke mana. Tinggal mereka yang ketiban pulung, didenda segala lantaran telat bayar.
Sistem swadana UI diterapkan sejak tahun 1999. Hatta, untuk otonomi kampus, agar tidak direcokin pemerintah. Bagi orang tua, tetap saja jadi beban. Uang kuliah yang asalnya enam ratus ribuan, jadi sejuta setengah. Untung masih ada bantuan buat mahasiswa yang tak mampu. Tak ada istilah mahasiswa di-DO gara-gara tak bisa bayar uang kuliah.
"Hmm... iya, ya? Biasanya mereka mangkal di depan kios itu," gumam Garsini saat menunggu ojek yang tak muncul-muncul. "Memangnya mereka ke mana sih?"
"Mau ikutan demo besar-besaran. Demo nasional. Makanya gaul dong sama aktivis BEM!" Rika membalas seakan ingin balas dendam.
"Alaaah, kayak situ ikutan aja?" Garsini mulai menyusuri jalan menuju gedung jurusannya. Ia berjalan cepat hingga Rika berlari-lari di belakangnya.
"He, Say... tungguin gua dong!" seru Rika. Begitu berhasil menjejerinya, ditariknya tangan Garsini. "Mendingan ke Salemba, woooi!"