Mohon tunggu...
pintukata
pintukata Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis Bebas.

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Matahari Berbicara Kepadaku

16 Januari 2021   09:03 Diperbarui: 16 Januari 2021   09:09 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kalau pagi menggelitik hati, sudah pasti aku tersentak bangun dari gelanggang tidurku. Betapa pun kantuk yang ditimpa semalam, tidak ada yang mengalahkan sapa pagi matahari. Ia menyapa setiap pagi di waktu yang hampir persis, tetap, dan konsisten. Tak seperti sebagian manusia yang terkadang susah menepati janji. Hanya manis di kata, namun pahit di perbuatan.

Matahari menjinjing dari permukaan menuju ubun-ubun langit. Ia perlihatkan kegagahan yang begitu silau bercahaya bersama mega-mega orange. Siapa yang peduli padanya? Padahal ia selalu memperhatikan manusia, mahkluk di bumi seisinya, bahkan cahayanya bertebaran ke planet-planet lain juga. Sebaliknya manusia? Apa yang dia perhatikan? Ia tidak merasa diperhatikan oleh Sang Waktu. Biarlah ia berjalan dengan sendirinya, hingga maut datang dan napas berhembus untuk terakhir kalinya. Mungkin pada saat itu manusia baru siuman.

Matahari berpendar di siang hari dan kita tak mampu memandanginya secara utuh. Ia sungguh suci, berkilau penuh cahaya. Apa dan siapa saja tidak ingin ketinggalan cipratan kehangatan peluknya yang membuat subur kehidupan.

Aku membasuh wajah dengan air yang asal-usulnya dari kerak bumi. Tanah subur yang disetubuhi tetanaman rindang akan berbuah mata air yang bersih. Kelak kita sebut sebagai air mineral, yang telah melalui proses pengepakan industri. Kata ini serak didengar, enyah diucapkan. Seolah-olah aku harus menjauh dari mereka, yang memungut upah dari keringat bapakku, yang menagih laba dari lidahku.

Buah tak lagi tentang simalakama, atau apel dan jeruk. Esensi buah bisa dikesampingkan, hanya kesan semata. Yang nanti tumpul di lidah-lidah kita. Lidah yang mengikuti arus massa. Media yang membumbung gila. Sudah ku duga, semua kopyah akan laris saat berselancar di atas arus informasi yang enggan menikmati waktu malam.

Apakah aku juga harus menadahkan tangan di atas terumbu-terumbu karang itu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun