Mohon tunggu...
pintukata
pintukata Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis Bebas.

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Dimakan Cinta?

5 Desember 2020   10:17 Diperbarui: 5 Desember 2020   10:26 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perihal cinta beserta pengahayatannya yang luas dan mendalam, aku butuh beribu-ribu halaman untuk menuntaskan pendapatku mengenai satu kata ikonik tersebut. Apalagi aku yang masih usang mengais inti hidup yang belum jelas arahnya. Pernah menjadi primadona di tempat aku mengaji dulu. Banyak perempuan kala itu beranggapan bahwa barang siapa yang memiliki hubungan denganku, ia adalah makhluk yang paling beruntung. Primodial. Spesial.

Sebab idiom itu, aku sulit menjamah hati seorang perempuan. Mereka mengenali caraku menyampaikan maksud hati yang terkesan flamboyan namun rapi dan sopan. Juntai puisi yang mengalir deras tautan diksi-diksi gombal menjadi topik hangat di surau-surau mereka.

Beredar berita yang tercemar di telinga-telinga mereka, sehingga timbul spekulasi atas apa yang tengah mereka belum pahami secara utuh. Kadang bikin hati kesal juga. Dengan hati yang sangat berat, aku tetap sikapi gejala itu sebagai hal yang biasa saja.

**

Tanpa disadari, aku didera gelombang rasa yang bersifat fluktuatif. Benar-benar kencang badai utara yang menggilas ambruk rumah hati. Seseorang yang memegang teguh pendulum konsistensi akan goyah diterpa badai rasa. Batinku bertanya ; mengapa harus cinta yang kau asah?

Beberapa jam sebelum keberangkatan menuju rumahnya, aku masih tak berhenti merenung. Ini kali pertama aku mendeklarasikan cinta. Menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa aku akan mencintai seseorang sepenuh hati. Buah dari pohon beringin yang sejak lama telah aku tanam di taman hati.

Sungguh magis. Sebab aku belum lama memintal tubuh wanita untuk kurebahkan di atas ranjang-ranjang puisiku. Tragis. Sebab setelah ia terlentang dan telanjang sempurnah, aku masih belum cukup umur untuk memungkas bait-bait cinta agar luwes kucipratkan pada gaun putihnya.

Bersambung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun