Mohon tunggu...
Reza Pamungkas
Reza Pamungkas Mohon Tunggu... Jurnalis -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Remehkan Golput

2 Juli 2018   02:43 Diperbarui: 2 Juli 2018   02:48 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru.

Artikel ini pertama kali tayang di PinterPolitik.com

Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan terasa. Di tengah gempita tersebut, CNN menurunkan laporan jika golongan putih (golput) ternyata masih menghantui dan belum benar-benar punah dalam gelaran Pilkada 2018.

Pemberitaan yang tampil di CNN memang belum menampilkan data dan angka yang pasti dalam menyebut aktivitas golput. Hal tersebut wajar sebab Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau lembaga sejenis belum mengeluarkan laporan Pilkada 2018.

Namun bila hendak menelisik sendiri, partisipasi masyarakat dalam gelaran Pilkada di beberapa daerah, terutama daerah dengan populasi penduduk terbanyak, mengalami peningkatan. Provinsi Jawa Barat yang menduduki kursi populasi terpadat di Indonesia mengalami peningkatan angka partisipasi politik dari yang hanya sebesar 63 persen di tahun 2013, sekarang bertengger di angka 73 persen.

Daerah Jawa Timur yang menempati daerah terpadat kedua di Indonesia, mengalami kenaikan dari angka 59,80 persen di tahun 2013, menjadi 62 persen di Pilkada 2018. Provinsi Jawa Tengah, yang hanya berkisar di angka 63 persen, kini melonjak di angka 77 persen. Dan Sumatera Utara, sebagai provinsi terpadat keempat di Indonesia juga mengalami peningkatan partisipasi di bawah 50 persen, lalu pada Pilkadatahun ini bergerak di angka 64,90 persen.

pinterpolitik
pinterpolitik
Berangkat dari sana, apakah benar golput akan selalu menjadi pilihan buruk? Apakah kenaikan angka partisipasi politik ini tak ada hubungannya sama sekali dengan keberadaan golput?

Golput, Dulu dan Kini

Pelawak asal Amerika Serikat (AS), Kin Hubbard, pernah berkata, "saya ingin memilih orang terbaik untuk menjadi pemimpin, sayangnya mereka semua bukanlah kandidat yang ada saat ini."

Celoteh Hubbard bisa sejalan dengan kelompok yang melakukan golput, yakni kelompok atau individu yang tidak menggunakan hak pilih politiknya untuk memilih kandidat yang ada atas alasan tertentu. Karena enggan memakai haknya, kelompok golput seringkali dicap sebagai kelompok atau individu apatis, anti demokrasi, bahkan tak peduli dengan negara. Dalam beberapa kesempatan, bahkan kata golputjuga menjadi momok tersendiri bagi pemerintah atau politisi sebab mampu mempengaruhi perolehan suara kandidat yang bertanding.

Dalam teori protest voting, gerakan golput tidak mengindahkan kandidat yang ada, walau nyatanya berpotensi sekalipun, guna mengirim sinyal protes kepada pemerintah dan harapan mendapatkan kandidat yang lebih baik.

Peyorasi yang berputar di kata "golput" makin mereduksi gerakan politik yang bisa dikatakan signifikan dan berani di masa Orde Baru. Gerakan golput ideologis yang dilakukan di tahun 1990-an dan digawangi oleh Arief Budiman, menjadi gerakan moral bagi rakyat Indonesia untuk menggunakan hak dan keyakinannya untuk tidak memilih siapapun. Golput saat itu juga menjadi kritik terhadap Orde Baru, karena dengan atau tanpa adanya Pemilu, kekuatan yang akan menang adalah TNI dan ABRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun