Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Kultur Birokrat yang Bermartabat

5 Januari 2023   09:16 Diperbarui: 5 Januari 2023   17:02 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir tidak ada selisih pendapat untuk mengatakan bahwa Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri)seidentik dan sebangun dengan birokrasi. Korpri, yang didirikan pada tanggal 29 November 1971 dengan Kepres Nomor 82 Tahun 1971, merupakan organisasi kepegawaian di Indonesia yang terdiri dari PNS, pegawai BUMN dengan anak perusahannya, serta semua perangkat pemerintahan desa. 

Sedangkan birokrasi, yang dibentuk dari dua kata yang berbeda asal bahasanya, yaitu kratos (bahasa Yunani)yang berarti 'pemerintahan' dan bureau (bahasa Perancis) yang berarti 'meja tulis', merupakan pemerintahan  secara de facto oleh mereka yang bekerja di belakang meja dalam kantor-kantor, yaitu para pegawai. Atau, secara kontekstual ketatanegaraan, birokrasi berarti sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah dengan berpegang pada tata aturan kerja, hierarki, dan jenjang jabatan.

Representasi kesetaraan indentifikatif itu mau menunjukkan bahwa Korpri dan birokrasi merupakan dua sisi dari satu mata uang  yang sama. Artinya, ketika orang membicarakan atau mempersoalkan birokrasi, seketika itu juga masalah Korpri, khususnya subjek Korpri (pegawai pemerintah atau birokrat), turut serta dibicarakan. Jika birokrasi dipahami sebagai suatu jaringan atau konfigurasi hubungan-hubungan objektif antara berbagai posisi kepentingan, maka birokrat (anggota Korpri) diterima sebagai subjek birokrasi yang bertindak dalam jaringan yang telah dibingkai dengan kode-kode atau aturan-aturan "permainan".

Namun demikian, dalam rekaman sejarah bangsa ini terbaca bahwa birokrat telah mengalami deteritorialisasi fungsi sosial politik, yaitu tercabutnya birokrat dari fungsi sosial politiknya  dan memasuki ruang kepentingan pelayanan bangsa.

Jika fungsi politis itu dipahami sebagai dimensi kekuasaan yang dipakai untuk mengatur dan mengarahkan  kehidupan sosial, maka fungsi itu tidak lagi mempunyai kekuatan untuk tegak memperjuangkan kepentingan tata aturan, tetapi melayani kepentingan masyarakat. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, misalnya, birokrat kurang peka dan kurang mampu untuk memajukan bangsa Indonesia. Mereka lebih mementingkan kedudukan dalam percaturan politik dan asyik menyusun rencana tindakan yang mendatangkan rezeki atau prestasi politik.

Birokrasi semacam itu telah menciptakan kaum birokrat yang arogan, yang mempersulit urusan warga negara dengan rasionalisasi 'setia pada hukum dan aturan yang berlaku'. Birokrat berlagak seperti orang yang paling penting, yang tanda tangannya dibutuhkan rakyat kecil sehingga mereka dengan seenaknya meminta "amplop" jasa. Mereka yang digaji dengan pajak rakyat tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Sebaliknya, mereka menjadi "tuan" yang terpaksa dilayani rakyat; bahkan mereka tidak memiliki empati sedikit pun terhadap penderitaan rakyat kecil.

Oleh karena itu, reformasi birokrasi merupakan keharusan zaman agar birokrat mampu menjalankan fungsinya secara baik dan benar. Fungsi birokrasi adalah menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional. Reformasi birokrasi penting dilakukan untuk menentukan corak dan bentuk birokrasi yang beririsan dengan status, fungsi, hak, dan kewajiban dalam pembangunan bangsa. Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana mereformasi birokrasi sehingga mampu membangun kultur birokrat yang bermartabat? Bagaimana kiprah anggota Korpri dalam mengimplementasikan reformasi birokrasi yang sebenarnya menyangkut dirinya sendiri?

Refomasi Birokrasi

Sejak tahun 1998  sikulasi  politik kehidupan berbangsa dan bernegara penuh dengan kesemerbakan aroma reformasi. Setelah kurang lebih 32 tahun realitas politik terasa kurang kondusif bagi pembudayaan demokrasi, kini muncul tuntutan reformasi di berbagai bidang. Tuntutan reformasi itu antara lain, mengembalikan kedaulatan kepada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat (refor-masi politik), membersihkan semua aparatur negara dari praktik KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) yang telah mengharubirukan potensi kesejahteraan rakyat (reformasi birokrasi), tuntutan memperlakukan semua orang secara adil dan sama di depan hukum (reformasi hukum), dan tuntutan pengadaan sembilan bahan pokok (sembako) secara tepat sasar dengan harga terjangkau oleh kondisi keuangan masyarakat (reformasi ekonomi). 

Kemunculan reformasi dan kebijaksanaan baru yang ditempuh ditandai dengan semangat kritik dan antitesis terhadap kebijakan dan budaya politik Orde Baru. Undang-undang desentralisasi kekuasaan, pembatasan masa jabatan presiden, multipartai, dan kebebasan pers; semuanya itu merupakan pendulum antitesis dari budaya politik Orde Baru.

Reformasi birokrasi merupakan perubahan radikal atas alur dan sistem kerja pemerintahan yang berkemampuan akomodatif terhadap kepentingan umum (rakyat). Memang disadari bahwa birokrasi senantiasa dilengkapi dengan kekuasaan dan kewenangan (otoritas) yang digunakan untuk menjalankan kebijakan umum dan untuk mengatur sumber-sumber  yang ada melalui cara yang persuasif dan koersif. Namun, birokrasi juga dilengkapi  dengan tanggung jawab politis, yaitu mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri atau kelompok sehingga tercipta kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun