Mohon tunggu...
Pieter Sanga Lewar
Pieter Sanga Lewar Mohon Tunggu... Guru - Pasfoto resmi

Jenis kelamin laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pembatasan Masa Jabatan Anggota DPR?

1 Desember 2022   19:53 Diperbarui: 1 Desember 2022   19:58 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak ada silang pendapat untuk mengatakan bahwa masa jabatan politik di Tanah Air ini perlu dibatasi. Jika tidak demikian akan muncul tirani kekuasaan yang menomorsatukan kepentingan diri dan golongan di atas kepentingan rakyat kebanyakan. Jika tidak demikian akan muncul penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang ala Joseph Stallin di Uni Soviet atau Adolf Hitler di Jerman atau Mao Zedong di Cina. Bahkan, tirani kekuasaan Orde Baru, yang memerintah Indonesia selama 32 tahun, membuktikan bahwa jabatan politik yang tidak dibatasi  akan menciptakan otoritarianisme politik yang menyengsarakan manusia dan kemanusiaannya.

Afirmasi proposisional ini,  secara normatif-konstitusional seolah-olah tidak menimbulkan kontradiksi, resistensi, atau oposisi karena sudah terpatri dalam undang-undang. Namun secara objektif,  realitas politik kekuasaan di Tanah Air masih terpampang ketidakadilan antara masa jabatan Presiden dan  anggota legislatif (MPR, DPR, DPD, DPRD). Misalnya, UUD 1945, Pasal 7 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Sementara itu, UUD 1945, Pasal 19-22 tentang DPR tidak ada satu klausul tentang masa jabatan DPR.

Realitas ketidakadilan itu pun tampak dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 169 menyatakan bahwa persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden, butir (n) tertulis, "belum pernah menjabat Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama". Begitu pula nasibnya calon gubernur, bupati, waki kota, yang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 58 Ayat O mensyaratkan, "belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama". Sedangkan UU No. 7 Tahun 2017, Pasal 240, Ayat (1) memuat, "Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota adalah warga Indonesia dan harus memenuhi persyaratan...." Ada 17 persyaratan untuk calon anggora DPR, tetapi tidak satu pun yang mencantumkan persyaratan masa jabatan DPR.

Jabatan Politik

Secara administratif, hakikat jabatan politik adalah  jabatan yang dihasilkan oleh suatu  proses politik, seperti pemilu atau pemilukada. Menurut UU No. 43 Tahun 1999, perubahan atas UU No. 08 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Pasal 11, jabatan politik meliputi presiden, wakil presiden (bersama para menteri), MPR, DPR, gubernur, wakil gubernur, DPRD provinsi, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, DPRD kabupaten/kota, dan pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

Jabatan para anggota DPR (legislatif) bukanlah jabatan karir seperti yang dimiliki pegawai negeri sipil (PNS), tetapi tergolong dalam jabatan politik. Oleh karena masuk dalam jabatan politik, masa jabatan anggota DPR pada semua tingkat sudah seharusnya dibatasi, sama dengan pembatasan masa jabatan politik untuk Presiden. Mengapa?

Pertama, keadilan perlakuan terhadap semua posisi jabatan yang diperoleh melalui proses politik pemilu atau pemilukada. Jabatan politik DPR dan Presiden, misalnya, sama-sama diperoleh melalui pemilu setiap lima tahun. Karena sama-sama dipilih melalui pemilu, masa jabatan anggota DPR dan Presiden  sudahlah  seadilnya jika dibatasi  secara tersurat dalam undang-undang.

Nyatanya, UUD 1945 dan UU No. 7 Tahun 2017 hanya menyuratkan pembatasan masa jabatan untuk Presiden, sementara tidak ada satu pun  pasal pembatasan masa jabatan untuk anggota DPR. Nyatanya,  sebagian besar anggota DPR 2019/2024 sudah lebih dari sepuluh tahun "indekos" di Senayan, rumah kedaulatan rakyat Indonesia. Padahal, anggota DPR dan Presiden adalah sama-sama "petugas" partai politik  yang disodorkan kepada rakyat Indonesia untuk dipilih dalam pemilu. Inilah ketidakadilan perlakuan politik yang selama ini dibiarkan "berjalan" tanpa kehendak untuk sedikit mempersoalkannya.  

Kedua, kekuasaan politik yang digenggam berlama-lama akan menghasilkan ke-mandheg-an kebenaran summum bonum (kebaikan tertinggi) dalam berbagai aspek kehidupan sehingga tercipta rezim dogmatis yang tidak dapat diganggu gugat. Misalnya, keputusan DPR untuk menggantikan hakim konstitusi Aswanto yang dilakukan secara tiba-tiba merupakan tindakan sewenang-wenang dan menghancurkan independensi peradilan (Kompas, 30/09/2022). Kekuasaan politik itu mempesona anggota DPR sehingga mereka rela menjadi "gila" untuk membuat keputusan-keputusan yang bertentangan dengan undang-undang yang dibuatnya sendiri.

Bertindak dengan semau-maunya merupakan sebuah rezim, yaitu kekuasaan yang terjadi dalam pola-pola relasi antarmanusia atau negara yang tidak seimbang, yang eksploitatif, dan yang represif. Sebagai sebuah rezim, kekuasaan yang digenggam terlalu lama  merupakan kekerasan yang merusak harmoni moral dan sosial karena membuka peluang munculnya tindakan amoral KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), menghadirkan skandal penyuapan dalam pengambilan kebijakan publik, dan menyuburkan  "budaya" bolos kerja yang dilakukan anggota DPR dalam rapat-rapat, khususnya rapat paripurna. Alhasil, pemberian fasilitas mewah, seperti gaji besar, kendaraan, dan perumahan, tidak sebanding dengan hasil kerja DPR untuk kepentingan bangsa. Memang lazim terjadi bagi seorang penguasa  yang terlalu lama berkuasa, akhirnya merasa terlalu nyaman menggunakan kekuasaan tersebut bagi kepentingan pribadi dan kroni-kroninya daripada untuk kepentingan\ rakyat.

Ketiga, regenerasi sumber daya kekuasaan politik yang kontekstual untuk pembangunan   yang  berkelanjutan. Pembatasan masa jabatan politik anggota DPR pada gilirannya membuka ruang demokrasi bagi hadirnya sumber daya manusia "muda" yang memiliki kapasitas dan kapabilitas baru: semangat, tata susila, daya serap, daya produksi, kecakapan, kekuatan, kesanggupan, kemampuan, dan daya tahan dalam melakukan sesuatu.   Kapasitas dan kepabilitas baru ini akan mendinamisasi kerja fungsional DPR, khususnya dalam bidang legislasi dan pengawasan, yang dalam beberapa tahun terakhir ini terasa near-death experience (mati suri).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun