Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Jiwasraya, BUMN, dan Saham Gorengan

23 Desember 2019   15:20 Diperbarui: 16 Januari 2020   18:57 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jiwasraya(KONTAN/Cheppy A. Muchlis)

PT Asuransi Jiwasraya, asuransi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terbesar, mengalami kesulitan keuangan sejak akhir 2018. Kesulitan keuangan Jiwasraya diduga disebabkan alokasi investasi yang terlalu besar pada saham-saham kapitalisasi kecil dengan fundamental lemah dan pergerakan harga yang ekstrim. Dalam istilah Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, Jiwasraya banyak berinvestasi ke dalam instrumen "saham gorengan".

Selain PT Jiwasraya, PT Asabri juga diberitakan mengalami permasalahan investasi yang sama (Kontan, 24 November 2019). Kasus saham gorengan juga pernah merugikan Dana Pensiun Pertamina dan Dana Pensiun Pupuk Kaltim.

Biasanya, saham-saham gorengan tersebut milik emiten swasta. Namun di tahun 2016-2017 beberapa saham gorengan adalah saham-saham BUMN, yaitu: PT Indofarma (INAF), PT Pelat Timah Nusantara (NIKL), PT PP Properti (PPRO), dan PT Semen Baturaja (SMBR). Saham-saham BUMN lebih menarik karena ada persepsi bahwa perusahaan BUMN lebih aman karena tidak akan bangkrut.

Saham BUMN ini juga bisa untuk melengkapi struktur portofolio reksadana yang berisi saham gorengan yang sepanjang 2019 banyak yang nilainya turun lebih 50%. Agar memenuhi ketentuan aturan OJK, struktur portofolio reksadana saham Syariah dan reksadana saham konvensional memang memerlukan masing-masing minimal lima dan sepuluh saham. Dengan adanya saham BUMN, reksadana berisi saham gorengan terlihat lebih meyakinkan.

Yang perlu diingat, kinerja harga saham dalam jangka panjang tergantung pada kinerja fundamental perusahaan, bukan siapa pemiliknya. Sedangkan dalam jangka pendek (kurang dari lima tahun), harga saham sangat dipengaruhi persepsi dan psikologis investor.

Misal pada era booming komoditas 2003-2010, saham-saham komoditas naik tajam sejalan dengan perbaikan fundamental perusahaan. Investor menjadi sangat yakin kinerja perusahaan akan terus membaik dan bersedia membayar harga saham dengan valuasi yang sangat tinggi. Akibatnya, investor yang membeli saham komoditas di akhir 2007, seperti INCO dan Astra Agro Lestari (AALI), masih merugi sampai saat ini.

Kapitalisasi dan Likuiditas

Ciri-ciri saham gorengan sebenarnya mudah diketahui. Umumnya, saham yang mungkin digoreng adalah saham-saham berkapitalisasi kecil dengan likuiditas rendah. Merujuk 49 emiten anggota MSCI Indonesia Small Cap Index (November 2019), saham kapitalisasi kecil memiliki nilai antara US$55 juta sampai US$727 juta, atau sekitar Rp770 miliar -- Rp10,2 triliun. Saham BUMN gorengan di atas pada akhir tahun 2015 memiliki kapitalisasi pasar sekitar Rp126 miliar -- Rp2,86 triliun.

Antara 80% sampai 88% saham BUMN gorengan tersebut ternyata dikendalikan oleh pemilik mayoritas seperti Pemerintah Indonesia atau BUMN. Jadi kapitalisasi pasar yang efektif bisa diperdagangkan hanya sekitar Rp18 miliar (NIKL) sampai dengan terbesar Rp438 miliar (SMBR). Dengan kepemilikan saham yang tersegmentasi oleh beberapa pihak dominan, para pihak yang terlibat dalam pembelian saham ini dapat memastikan bahwa saham yang mereka miliki tidak akan dijual saat 'bandar' melakukan proses transaksi semu untuk menaikkan harga.

Kapitalisasi pasar efektif yang kecil dan likuiditas rendah membuat saham-saham BUMN ini mudah dimanipulasi menggunakan modal kecil sehingga harganya naik sangat tinggi.

Selanjutnya, bandar mengakumulasi saham secara agresif untuk menaikkan harga dengan ekstrim. Misal saham INAF dan NIKL naik dari 2.686% dan 4.400% sepanjang tahun 2016. Saham-saham PPRO dan SMBR punya pola yang sama, naik sekitar 673% dan 859% di tahun 2016. Pada tahun 2017, harga saham INAF, NIKL, dan SMBR terus mengalami kenaikan masing-masing sebesar 26%, 120%, dan 36%. Hanya PPRO yang mengalami penurunan harga sebesar 44%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun