Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyandingkan GBHN dan Tujuan Strategis

13 Januari 2016   16:30 Diperbarui: 13 Januari 2016   16:30 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pro kontra mengenai perlu tidaknya GBHN dihidupkan kembali pasca Rakernas PDI-P membuat saya spontan mengingat beberapa penggalan teori tata kelola organisasi. Walaupun tidak benar-benar persis, dalam organisasi atau perusahaan ada pedoman serupa GBHN yang disebut tujuan strategis.

Tujuan strategis merupakan turunan paling pertama dari Visi dan Misi organisasi atau perusahaan tersebut. Tujuan strategis yang bersifat jangka panjang kemudian diturunkan lagi menjadi program kerja dan langkah taktis yang sifatnya lebih jangka pendek. Tujuan strategis dihasilkan oleh board atau dewan direksi sesuai amanah pemegang saham.  CEO, General Manajer dan top manajemen boleh berganti-ganti namun arah kepemimpinannya jelas: Bagaimana mewujudkan Tujuan Strategis yang diimplentasikan menjadi sejumlah target jangka pendek?

Tentu dunia usaha berbeda dengan negara yang mengurusi hajat hidup orang banyak. Budaya kerja perusahaan lebih homogen, tujuannya jangka panjangnya pun lebih sektoral dibanding tata kelola sebuah negara. Makanya, tujuan strategis biasa punya masa berlaku sesuai kebutuhan perusahaan. Misalnya setiap tiga tahun atau setiap lima tahun, setelah itu di-review kembali. Apa masih relevan dengan iklim persaingan bisnis yang terjadi atau tidak? Jika diperlukan, tujuan strategis akan dimutakhirkan kembali.

Top manajemen yang mampu mencapai kinerja yang diinginkan sesuai dengan goal akan mendapat apresiasi dari Direksi. Promosi, bonus, perpanjangan masa jabatan dan lain-lain. Sebaliknya, jika top manajemen tidak mampu mencapai kinerja yang diinginkan, akan ada punishment, bisa jadi penggantian bahkan pemecatan.

Efektifkah GBHN?

Itu untuk tata kelola sebuah perusahaan. Berbicara negara, tentu urusannya jauh lebih kompleks. Posisi puncak eksekutif dalam hal ini Presiden bukan hanya jabatan manajerial tapi juga jabatan politis. Memang berdasarkan amanah Undang-undang, Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, Presiden juga tidak bisa serta merta melepaskan diri dari intervensi badan legislatif.

Jika MPR kembali diberi otoritas membuat haluan negara dikembalikan, maka Presiden pun dalam menjalankan program kerjanya harus manut dengan arahan MPR. Dalam menyikapi masalah-masalah yang terjadi di “lapangan” bisa terjadi ada birokasi yang lebih panjang dibanding Presiden diberi ruang lebih lebar untuk memainkan fungsi eksekutifnya. Jika semua berjalan ideal, dalam arti badan legislatif benar-benar merepresentasikan aspirasi dan  berorientasi pada pembangungan masyarakat, mungkin tidak akan terjadi banyak masalah.

Tapi bisa kita lihat bagaimana raport badan legislatif kita paling tidak setahun terakhir ini. Untuk tugas pokoknya saja, alih-alih memproduksi undang-undang, pada wakil rakyat yang terhormat itu justru lebih banyak menghabiskan energi untuk saling sikut dan manuver-manuver politik lainnya yang menimbulkan kesan jelek di mata masyarakat.

Dalam tata kelola Perusahaan hubungan antara dewan direksi dan top manajemen jelas. Dewan direksi memiliki otoritas memberhentikan top manajemen yang gagal mencapai target-target dan menjauhkan kinerja organisasi dari tujuan strategis yang dihasilkan. Namun dalam bernegara, situasinya menjadi sedikit lebih rumit karena bumbu-bumbu politik tadi. Bayangkan, GBHN dirumuskan MPR sebagai panduan kinerja Presiden dan jajarannya, sedangkan Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Ini persis yang dibidik Saldi Isra lewat opininya bertajuk “Wacana Menghidupkan  GBHN” yang dimuat pada Kompas cetak kemarin (12/1). Saldi Isra menyampaikan sejumlah pertanyaan reflektif mengenai efektivitas GBHN yang coba dihidupkan kembali pada saat kita sedang melakukan purifikasi (pemurnian) sistem Presidential dan kaitannya dengan masalah-masalah praktis yang terjadi  pada badan legislatif kita. Saldi Isra menutup artikelnya dengan permenungan bahwa sebenarnya tujuan bernegara telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Pasangan calon Presiden dalam hanya perlu menjabarkan visi bernegara tersebut ke dalam misi atau agenda-agenda sentral yang akan dilakoninya. Jika ini dihayati dan diamalkan dengan baik, sebenarnya ada “semangat” yang menjadi benang merah dari program kerja setiap Presiden yang memimpin negeri ini.

Ideal vs Implementatif

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun