Mohon tunggu...
Philips Anakristo
Philips Anakristo Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Konselor pendidikan

Mahasiswa STTI Efrata Tut Wuri Handayani Student Today Leader Tomorrow

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pemuridan Berbasis Komunitas adalah Alternatif Pola Ibadah di Masa Pandemi Covid-19

7 Mei 2021   23:41 Diperbarui: 17 Oktober 2021   14:53 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

                Kedua, masa pandemi menunjukkan bahwa pelayanan gereja masih sangat terfokus dan bergantung pada peran rohaniwan sebagai tenaga profesional dan belum melibatkan seluruh anggota tubuh Kristus sebagai komunitas pelayan. Pada masa pandemi, terlihat banyak sekali rohaniwan mencoba untuk membuat konten daring berupa khotbah, seminar, sapaan gembala, lagu pujian, dan berbagai bentuk lain. Akan tetapi, penelitian dari BRC justru menunjukkan bahwa jemaat justru merasa tidak mengalami engagement dari pendeta atau gembala jemaat setempat. Hal ini disebabkan misalnya oleh perubahan intensitas pelayanan dari tatap muka menjadi pembatasan fisik, adanya gembala atau pendeta yang tidak mengetahui kondisi spiritualitas atau pertum-buhan iman jemaatnya, serta jemaat meng-anggap bahwa pemberian renungan pastoral (secara digital) yang umum dilakukan oleh

 para rohaniwan tidak serta-merta berarti sapaan personal kepadanya.Tanda-tanda ini sejatinya dapat dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, tentu saja tanda-tanda ini memperslihatkan kreativitas dan inovasi para rohaniwan yang tetap setia melayani dan berkarya di tengah krisis. Akan tetapi, di sisi lain, tanda-tanda ini juga menunjukkan kecenderungan jemaat untuk “bergantung” dan terpusat pada pelayanan rohaniwan semata-mata, dan secara bersamaan mengang-gap diri mereka sebagai “konsumen” yang harus terus-menerus “disuapi” dan seolah-olah “tidak bisa hidup” tanpa pelayanan roha-niwan. Padahal, sejatinya pertumbuhan rohani dan pelayanan kepada Allah merupakan tanggung jawab seluruh anggota tubuh Kristus, bukan hanya rohaniwan (bdk. Ef. 4:11-16).

              Catatan Ronda dalam Rembuknas STT SAAT juga menegaskan hal ini. Ia mengatakan, dalam konteks pedesaan yang tidak semuanya memiliki tenaga rohaniwan yang cukup, sangat diperlukan pemberdayaan pelayan awam khu-susnya dalam berkhotbah dan memuridkan. Sebagai kesimpulan, Michael Teng dalam Rembuknas STT SAAT mendorong gereja-gereja untuk membuka ruang sebesar-besar-nya bagi keterlibatan pelayan awam dengan cara peralihan dari pelayanan yang berpusat pada rohaniwan menjadi berpusat pada rohaniwan dan pemimpin awam; peralihan dari pelayanan rohaniwan sebagai pelaksana tunggal menjadi sebagai pemerlengkap jemaat Allah; dan peralihan dari peran rohaniwan sebagai gembala bagi seluruh umat menjadi gembala bagi para anggota tim penggembala.

              Ketiga, masa pandemi menunjukkan bahwa pelayanan gereja masih secara sempit terfokus hanya pada dimensi ibadah dan belum atau tidak holistik menyentuh bidang-bidang lain yang juga penting. Hal ini terlihat dari fokus gereja di paruh awal masa pandemi yang agaknya terkuras sepenuhnya pada penyelenggaraan dan penyediaan konten ibadah online di gereja masing-masing, baik secara tayangan langsung (live streaming) maupun tayangan yang sudah direkam sebelumnya (pre-recorded streaming). Gereja-gereja tampaknya berupaya sekuat tenaga untuk “bersaing” menghadirkan konten ibadah daring yang lebih baik. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh kekhawatiran bahwa jemaatnya akan lebih memilih mengikuti ibadah daring di gereja lain. Survei kuantitatif yang dilakukan oleh Sinode GKI Wilayah Jawa Barat menunjukkan bahwa 80% jemaat mengikuti ibadah dan pelayanan daring di gerejanya, namun di saat bersamaan 60% jemaat mengikuti ibadah daring di kanal atau situs gereja lain.

              Upaya untuk “memenangkan” persaingan viewers di tengah dunia ibadah digital ini juga ditangkap dalam data Survei Nasional STT SAAT Mei 2020 yang dipresentasikan oleh Teng dalam Rembuknas STT SAAT. Teng menyimpulkan bahwa di awal masa pandemi perhatian utama gereja-gereja ada pada pelaksanaan ibadah, sementara hal-hal lainnya dilakukan dengan agak gagap dan tidak ter-pikirkan. Fenomena ini, menurut Teng, terjadi karena sejak sebelum pandemi pun fokus perhatian gereja-gereja memang lebih banyak tertuju pada ibadah Minggu, dan kurang pada aspek-aspek penting lainnya dalam pelayanan gerejawi. Tambahan pula, berdasarkan pem-bacaan Yohanes Adrie Hartopo terhadap penelitian pengalaman ibadah jemaat dalam beribadah daring khususnya dalam konteks gereja di perkotaan, upaya pembuatan konten

                ibadah daring adalah hal yang tidak mudah, bahkan dapat dikatakan sangat menguras energi, waktu, tenaga, dan sumber daya baik manusia maupun material. Te ntu saja pelayanan ibadah bukan tidak penting, tetapi realita di masa sebelum dan selama pandemic menunjukkan adanya perhatian yang tidak seimbang, terlalu berfokus pada pelayanan ibadah dan mengabaikan bidang-bidang lain yang sama pentingnya. Penelitian dari BRC menunjukkan setidaknya empat elemen pelayanan selain ibadah yang terabaikan atau kurang mendapat perhatian yang cukup, yaitu : keuangan, sekolah minggu, pelayanan keluarga dan penginjilan. Hal ini patut dipikirkan secara serius karena gereja yang sehat tidak hanya perlu memikirkan aspek ibadah, tetapi juga aspek-aspek lain seperti persekutuan, pengajaran, dan kesaksian. Di samping itu ada pula beragam pelayanan yang berbasis kebutuhan (needs based ministry) seperti misalnya pelayanan kelompok usia tertentu dalam kelompok kecil, pelayanan konseling, pelayanan di ruang sosial dan pelayanan pemberdayaan ekonomi jemaat yang juga patut mendapat perhatian gereja.

                Keempat, masa pandemik menunjukkan adanya kesenjangan (gap) yang serius antara generasi tua dan muda dalam gereja. Kesenjangan antara generasi tua (senior) dan muda (junior) ini terjadi bukan hanya di kalangan jemaat awam, tetapi mula-mula dari kalangan rohaniawan. Lagi-lagi penelitian BRC memperlihatkan temuan menarik. Dilansir bahwa kebanyakan ibadah utama yang ditayangkan secara online dilayani oleh hamba-hamba Tuhan senior, sehingga hamba Tuhan muda atau yang masih junior merasa tidak dibutuhkan dan tidak mendapat kesempatan. Terlepas dari faktor-faktor internal generasi masing-masing, realita ini menunjukkan ada masalah regenerasi kepemimpinan dan pelayanan gereja. Padahal, dalam disertasinya yang meneliti tentang revitalisasi gereja pada empat gereja local dari empat sinode berbeda di empat kota besar di Indonesia, Teng menunjukkan salah satu faktor penyebab revitalisasi adalah adanya tim kepemimpinan bersifat intergenerasi yang kuat dan harmonis. Penemuan ini juga diteguhkan kembali dalam Rembuknas STT SAAT dalam panel diskusi tentang pelayanan anak muda, didapati bahwa kaum muda gereja injili menghadapi kesulitan ibadah, salah satunya karena konsumsi dalam ibadah umum dirasa terlalu berat. Hal ini menunjukkan belum ada, atau kurangnya pemahaman dan praktik pelayanan-pelayanan bersifat intergenerasi di dalam gereja.

                Kelima, masa pandemik menunjukkan bahwa gereja-gereja pada umumnya tidak siap berhadapan dengan kemajuan teknologi. Temuan ini dilaporkan oleh BRC dan Yakub Tri Handoko dalam catatan keynote speaker mengenai konteks gereja berbasis pelayanan digital. Hasil penelitian BRC menunjukkan bahwa tidak semua gereja bisa mengadakan ibadah online, karena ada yang tidak mempunyai infrastruktur yang memadai, atau ada pula yang tidak mengetahui caranya padahal infrastruktur yang dimiliki cukup mendukung. Selain itu, dalam penelitian lain yang dilakukan BRC secara kualitatif terhadap berbagai gereja di perkotaan Indonesia dari tiga aliran berbeda (mainstream, injili dan Pentakosta/Karismatik), didapati bahwa seba-gian besar gereja tidak mempunyai bidang atau komisi khusus digital, dan kalau pun ada, pada umumnya baru dibentuk pada masa pandemi COVID-19. Handoko dalam Rem-buknas STT SAAT meringkaskan fenomena ini dengan dua poin, yaitu bahwa banyak gere-ja masih enggan dan tergopoh-gopoh meng-ikuti perkembangan teknologi; serta banyak hamba Tuhan dan gereja injili yang belum serius menggarap pelayanan digital.

               Beberapa temuan di atas menunjukkan bahwa masa pandemi menjadi cermin yang merefleksikan wajah gereja sesungguhnya. Tentu saja poin-poin ini hanya dipaparkan secara garis besar dan umum. Masih ada poin-poin spesifik lain yang tidak terangkum. Tetapi, dari kelima poin di atas, agaknya tidak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa observasi yang telah dimiliki tentang pelayanan gereja selama ini dapat terbukti benar. Adanya ambiguitas visi teologis dalam pelayanan yang berakibat juga pada ambiguitas praksis pelayanan. Pertanya-an selanjutnya yang perlu digumulkan adalah: bagaimana kemudian gereja merevitalisasi pelayanannya di dalam masa kenormalan baru bahkan sesudah masa pandemi?

PEMBAHASAN 

            Tulisan ini membahas apa yang harus dilakukan gereja pasca pandemi Covid-19 ditengah kondisi yang tidak menentu kedepan, sehingga isu Covid-19 tidak dibahas secara detail. Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 membawa tantangan baru bagi gereja dan pada akhirnya gereja berjibaku dalam kondisi normal yang baru. New normal adalah perubahan perilaku dengan sebuah kebiasaan yg baru untuk menjalankan aktifitas normal namun ditambah protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19. Gereja bisa kembali difungsikan untuk melayani jemaat di fase kenormalan baru. Hal ini ditegaskan dalam surat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian agama tertanggal 27 Mei 2020 tentang Revitalisasi fungsi rumah Ibadah dalam Tata kehidupan Baru. Dimana Gereja dapat menjalankan ibadah dengan pembatasan jumlah jemaat dan pembatasan bentuk kegiatan dengan mengikuti protokol kesehatan, serta mendorong jemaat agar menerapkan pola hidup bersih. Hal tersebut dilakukan karena gereja sadar akan kehadiran dirinya sebagai realitas sosial. Kesadaran Gereja sebagai realitas sosial artinya gereja juga berusaha memahami dan peka terhadap permasalahan masyarakat yang terjadi seperti yang dijelaskan diatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun