Kita telah sering mendengar pepatah "Lebih besar pasak daripada tiang." Pepatah ini mengingatkan kita untuk menjaga pengeluaran tidak melebihi pendapatan yang diterima. Atau, bisa juga diartikan, jangan mengajukan kredit dengan angsuran sebesar gaji bulanan. Sudah pasti minus.
Ini adalah sebuah prinsip bertahan hidup yang logis. Gaya hidup hedonis hanya membuat hidup merana. Demikian baiknya prinsip ini sehingga seharusnya berlaku universal. Kenyataannya, "Lain padang lain ilalang." Lain daerah, lain pula gaya hidupnya.
Beberapa daerah di Indonesia dikenal dengan stereotype orang-orang yang bergaya hidup boros. Sejumlah jargon sindiran akrab di telinga masyarakat daerah tertentu, seperti "BiMAS (Biar Mati Asal Stand)", "Biar gak makan nasi yang penting aksi", dsb.
Namun, tidak ada contoh hedonisme yang lebih ekstrem selain dari yang terdapat di Kongo, Afrika. Orang-orang yang tergabung dalam komunitas La Sape menjungkirbalikkan semua tiang ekonomi.
Ketika sebagian besar populasi di negeri itu sulit mencari makan dan air bersih, komunitas La Sape memusingkan dirinya menemukan pasangan dasi yang cocok dengan sepatu.
Lebih Besar Sapeur daripada Tiang
Sape adalah akronim dari "Societ des Ambianceurs et des Personnes Elegantes". Terjemahan bebasnya: "Komunitas Trend-Setter dan Orang-Orang Elegan". Anggotanya disebut Sapeur. Mereka penggila fesyen.
Seorang Sapeur suka tampil di jalan-jalan layaknya pria parlente (dandy) bangsa Eropa, lengkap dengan setelan jas, topi, sepatu kulit, kacamata, jam tangan, bahkan payung. Semuanya branded orisinil, kualitas nomor satu.
Di Brazzaville, ibukota Kongo, para Sapeur berkumpul setiap akhir pekan untuk saling memamerkan penampilan mereka. Mereka puas bila orang-orang yang melintas memuji mereka. Mirip seperti persimpangan Harajuku di Jepang. Hanya saja, latar jalan-jalan miskin berlumpur di sekeliling mereka membuat pertunjukan itu kontras dan sedikit surealis.
Hanya saja, latar jalan-jalan miskin berlumpur di sekeliling mereka membuat pertunjukan itu kontras dan sedikit surealis.