Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membangun Generasi Penyintas Bencana

8 Februari 2019   09:54 Diperbarui: 9 Februari 2019   10:09 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bencana di kota Bradford, West Yorkshire, England (sumber: Rex Features)

Ketika masih tinggal di Jogja, seorang keponakan istri saya datang untuk tinggal sementara di rumah kami. Ia, lulusan dari sebuah sekolah internasional di kotanya, hendak mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Belum genap satu minggu kami menemukan fakta bahwa dia tidak bisa mengganti tabung gas yang kosong atau memasak nasi!

Fenomena inkompetensi remaja demikian semakin umum ditemui saat ini, terutama di kota-kota besar. Banyak anak tidak dapat melakukan keahlian dasar kehidupan, seperti melindungi diri, mendapatkan air, atau menghidupkan api, sebab sebagian besar fungsi itu telah diambil alih oleh asisten rumah tangga. Padahal, keahlian-keahlian dasar semacam itu amat diperlukan, laki-laki atau perempuan, terutama dalam keadaan darurat.

Memang, ada banyak video yang mengajarkan survival-skill tersedia di kanal-kanal youtube. Beberapa dari generasi milenial sebaya keponakan saya itu juga memainkan survival-games, dari yang bertema perburuan, menyelam bawah air, hingga pasca-apokalipsis. 

Namun, pengalaman imajiner yang didapat dari dunia maya dua dimensional tentu tidak dapat dibandingkan dengan keahlian instingtif yang nyata.

Motivasi dan Modal untuk Bertahan Hidup

Beberapa waktu yang lalu kita disajikan sebuah demonstrasi menyintas yang luar biasa. Aldi Novel Adilang, kelahiran Minahasa, terkatung-katung di Samudera Pasifik setelah rumah perangkap ikan terapung yang ditumpanginya terlepas dari tambatan. Alhasil, selama 49 hari remaja berusia 18 tahun itu menyambung hidup dengan makan ikan mentah dan minum air hujan tadahan.

Bila dicermati, sebelum peristiwa naas itu, Aldi sebenarnya telah mengantongi modal untuk menyintas-akut (accute-surviving). Selama tahun-tahun bekerja di tengah laut, ia telah mengembangkan keahlian-keahlian yang jarang dimiliki oleh remaja sebayanya: menangkap ikan, memasak, dan menghemat air minum. Ia belajar lewat pengalaman langsung.

Akan tetapi, modal keahlian saja tidak berguna tanpa ada motivasi untuk bertahan hidup. Pengharapan akan masa depan yang lebih baik mendorong Aron Ralston memotong lengannya yang terjepit batu dalam suatu pendakian di Utah tahun 2003. Setelah 127 jam, ia berhasil keluar dan mendapat pertolongan.

Iman adalah motivasi lain untuk bertahan hidup. Seorang yang menyadari bahwa hidup adalah anugerah ilahi akan menghargai dan berusaha mempertahankan hidup itu. Menurut keyakinan agama, bunuh diri otomatis menjadikan seseorang kafir. Remaja Aldi mengurungkan niat bunuh diri setelah membaca-baca Alkitab.

Alternatif Mitigasi Bencana Pra-Kuratif

Tahun lalu saudara-saudara kita di Palu dan Donggala terlibat dalam perjuangan untuk bertahan hidup setelah dilanda sepaket gempa dan tsunami. Siaran-siaran berita melaporkan kegagapan masyarakat dan pemerintah daerah dalam menghadapi bencana. Kepanikan menghasilkan kekacauan sehingga pada gilirannya mengganggu kelancaran penyaluran bantuan.

Laporan yang dikeluarkan oleh sebuah Badan PBB (UNISDR) berdasarkan data dari Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) per 24 Januari 2019 di Jenewa menampilkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah korban jiwa akibat bencana alam tertinggi di sepajang 2018. 

Dari total 10.373 korban jiwa bencana alam di seluruh dunia, 4.535 orang terdapat di Indonesia. Angka ini lebih dari dua kali lipat dari runner-up, India, yang menderita korban 1.388 jiwa.

Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi masyarakat dan pemerintah di daerah lain akan pentingnya kesiagaan mengantisipasi bencana, seiring naiknya peringkat Indonesia dalam kategori "countries most prone to earthquake". Selain tindakan-tindakan mitigasi bencana secara kuratif, juga perlu dipikirkan usaha mitigasi pra-kuratif. Mempersiapkan generasi penyintas bencana adalah sebuah usaha yang masuk akal.

Membangun Generasi Penyintas Bencana

Untuk membangun sebuah generasi diperlukan usaha-usaha pedagogis yang rutin dan sistematis. Usaha seperti ini sebenarnya bukan hal yang asing di negeri ini. Kita telah lama berutang kepada gerakan Pramuka yang lestari di sekolah-sekolah negeri. 

Namun, saat ini tidak dipungkiri, selain dari program-program jambore yang diadakan, organisasi kepanduan ini seolah-olah mati suri. Padahal, jika diberdayakan dengan optimal, setiap strata di dalamnya, dari siaga hingga pandega dapat menjadi pelopor penyintas bencana.

Sekolah adalah tempat persemaian terbaik bagi generasi penyintas bencana. Sekolah dapat memulai dengan membagikan lembar panduan keadaan darurat bencana kepada setiap peserta didik. Sekali sebulan guru juga dapat mendemonstrasikan tips panduan keselamatan di awal jam belajar. Dan, di waktu-waktu tertentu diadakan simulasi darurat bencana guna mengasah insting dan keahlian menyintas siswa.

Dukungan pemerintah dapat direalisasikan melalui kebijakan-kebijakan publik pro-mitigasi, dengan berkaca kepada sesama negara yang rentan terhadap gempa bumi, Jepang, misalnya. Dalam periode prime-time, siaran televisi menayangkan panduan singkat cara bertahan di kala bencana. 

Penduduk mendapat tips audio-visual tentang posisi berlindung di kala gempa dan tsunami, cara mengapung di kala banjir, atau bertahan hidup dengan persediaan nutrisi yang minim.

Tempat-tempat perlindungan (shelter) sedapatnya dibangun di lokasi-lokasi yang terlindung dan mudah diakses masyarakat. Namun, mempertimbangkan tingkat korupsi, kerentanan fasilitas umum di negeri ini, opsi ini tidak efektif untuk diimplementasikan dalam waktu dekat. Memodifikasi fasilitas balai desa, dan rumah-rumah ibadah, menjadi Balai Sigap Bencana adalah alternatif yang layak dicoba.

Membangun selalu lebih sulit dan mahal daripada menghancurkan. Meskipun demikian, hasilnya sepadan dengan usahanya. Kehilangan sebuah generasi (karena tidak berdaya sintas) jauh lebih mahal daripada usaha dan biaya untuk membangun sebuah generasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun