Mohon tunggu...
Humaniora

Esai: Pernikahan Sebagai Kehendak untuk Memiliki (Will to Possess)

19 Maret 2017   07:12 Diperbarui: 19 Maret 2017   08:28 3022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Segala sesuatu yang tidak bermakna, menurut manusia, haruslah dengan tegas dimaknai. Agak kurang bijak rasanya bila membiarkannya begitu saja. Batas antara yang bermakna dan yang nihil tidaklah jelas. Dan manusia, dengan keterbatasan pikirannya, menciptakan lini batas yang cukup tegas. Ketegasan inilah yang membuat seseorang lantas menemui kehendak untuk memberontak. Dan bahwa setiap dinding batas haruslah dihancurkan dan juga setiap nihilitas harus bertemu pemaknaan.

Pernikahan adalah suatu langkah yang dianggap penting dalam berkehidupan. Selain sebagai sarana legal untuk meneruskan garis keturunan, pernikahan merupakan sebuah tujuan bagi banyak pasangan. Pernikahan dianggap sebagai pengejawantahan tertinggi atas cinta dan kasih sayang. Namun, hal ini ternyata tidak serta merta membuat pernikahan dipandang menyenangkan. Dalam banyak kasus, pasangan enggan menikah karena ketakutan pada keterikatan. Tidak hanya itu, sebagian pasangan lainnya bahkan memiliki ketakutan yang tidak jelas definisi dan sebab musababnya. Namun, inilah hal yang mereka reguk. Dengan takut pada pernikahan, secara tidak langsung, mereka telah memaknai pernikahan itu sendiri, meski mereka belum menjalaninya. Dan mengingat ketakutan pasangan pra-nikah yang bermacam-macam, maka pemaknaan ini pastilah sangat beragam.

Keberagaman makna pernikahan sendiri sebenarnya hanyalah percabangan dari pemaknaan tunggal yang ditenggelamkan karena dianggap mencoreng kesucian. Di sini kita tidak berbicara tentang seks. Tidak, jauh lebih fundamental lagi, pernikahan adalah sebuah keinginan untuk meng-ada (will to exist). Aku menikah, maka aku ada.Kita akan lihat mengapa makna tunggal ini adalah inti dari semuanya.

Masyarakat, bersenjatakan budaya dan agama, bahkan beberapa dengan pengalaman pribadinya, meniadakan segala bentuk hubungan lawan jenis yang tidak memiliki ikatan yang bisa dianggap nyata. Kemudian, dari peniadaan ini, muncul berbagai tudingan tidak menyenangkan kepada siapa saja yang diketahui memilikinya. Bagi kaum laki-laki, tudingan yang sangat kentara adalah bahwa siapapun yang mengaku memiliki hubungan pra-nikah, maka ia adalah pengecut. Dan bahwa laki-laki sejati haruslah menikahi pasangannya. Sedang bagi perempuan, hubungan pra-nikah adalah sebuah degradasi atas harga diri.

Berbagai tudingan yang dilontarkan pada pasangan pra-nikah akhirnya berujung pada penyerangan terhadap eksistensi hubungan itu sendiri, yang kemudian menjadi titik berangkat dari berbagai penyerangan yang mengatasnamakan janur kuning. Selama janur kuning belum melengkung, aku masih berhak atas kekasihmu dan aku sama berhaknya denganmu. Kalimat ini merupakan pengejawantahan paling lugas atas nullifikasi kepemilikan (nullification of possession) bagi pasangan pra-nikah. Dan karena hal ini berlaku umum, maka terciptalah sebuah ketakutan yang masif dan terorganisir, yang kemudian menjadi sebab dari peperangan abadi antara masyarakat melawan pasangan pra nikah. Peperangan ini, meski terihat begitu kompleks dan tak berujung pangkal, sebenarnya memiliki akar yang sederhana. Masyarakat berusaha meniadakan pasangan pra-nikah, sedang pasangan itu sendiri berusaha mempertahankan eksistensinya.

Masyarakat, sejauh ini, menganut pada sebuah kepercayaan bahwa cinta berada di bawah segalanya. Hal ini tampak dalam pernyataan yang lazim diucapkan, “Cinta tidak bisa dimakan”.Tidak ada cinta di hati masyarakat, cinta hanya mitos. Hal ini tentulah bukan merupakan sesuatu yang aneh jika mengingat bahwa kelompok masyarakat yang melontarkan pernyataan ini merupakan golongan masyarakat praktis. Masyarakat dari golongan praktis menganggap hidup sebagai sebuah pertarungan tanpa henti untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri. Slogan mereka sederhana, aku hidup maka aku tidak boleh mati. Bagi mereka, pernikahan dimaknai dengan kebersamaan yang lapar, dimana yang terpenting adalah bahwa mereka bisa makan. Bagi mereka, pernikahan adalah soal pemenuhan kebutuhan dan cinta telah berubah menjadi sebuah eksistensi teoritis.

Idealisme mengenai pernikahan sebagai perpaduan pasangan dalam pencarian kebutuhan primer ternyata telah berhasil memupuskan segala harapan. Kalangan pasutri praktis menemukan hal ini terjadi pada mereka dalam sebuah penyesalan yang mengerikan. Istri akan berkata, “Wahai suamiku, aku berjuang keras menjaga anakmu dan memasak untukmu.”Sementara suami akan berkata,“Wahai istriku, aku berjuang mencari uang untukmu, maka layani aku.” Dan tuntut menuntut ini akan terus berlanjut dalam diam hingga berujung pada ketakutan yang teramat sangat terhadap perselingkuhan. Ujung dari ketakutan ini adalah sebuah pembenaran atas kekurangan. Istri akan membenarkan kekurangannya secara fisik sebagai akibat memberikan pelayanan dan akibat kehamilan, sementara suami membenarkan sifatnya yang sewenang-wenang sebagai imbalan mencari uang.

Perselingkuhan tidak akan memiliki tempat, jika dan hanya jika pernikahan memang sungguh-sungguh bermakna. Nyatanya, perselingkuhan masih terjadi dan ini menandakan bahwa pernikahan, dengan sendirinya, tidaklah nyata berarti. Pernikahan tidak menambahkan makna apa-apa pada sebuah hubungan, kecuali bahwa hubungan tersebut kini sudah dinyatakan “ada” oleh masyarakat.

Nihilnya makna pernikahan itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang diakui oleh semua orang. Dari sini, maka wajarlah bila kita berangkat menuju perceraian. Pernikahan adalah absurd dan karenanya akan cenderung mengakhiri dirinya sendiri. Hal inilah yang diungkapkan oleh Albert Camus terkait dengan absurditas kehidupan, yakni bahwa apapun yang manusia kerjakan, sebenarnya hanyalah agar ia tidak bunuh diri. Agar tidak bunuh diri maka seorang manusia perlu bersikeras. Tentunya adalah legal untuk mengaitkan ini dengan pernikahan. Agar tidak bercerai, maka pasangan harus bersikeras.

Selama kehendak manusia untuk ada masih bersemayam di hati seorang pasutri, maka mereka tidak perlu terlalu bersikeras. Mereka tidak perlu berjibaku terlalu dalam dengan proses dan perjalanan pernikahan. Mereka hanya perlu duduk dan menikmati keberadaan mereka yang diakui oleh masyarakat. Namun, manusia tidak pernah dan tidak akan pernah cukup akan pemenuhan satu hasrat. Rasa haus akan hasrat berikutnya setelah satu hasrat dipenuhi adalah sesuatu yang bersifat aksiomatik. Akhirnya, akan tiba saat dimana pengakuan masyarakan tidak lagi nyata penting. Di sinilah letak pentingnya esensi dari pernikahan. Sehingga apabila pernikahan tidak lagi bertujuan untuk membangun keberadaan, setidaknya masih ada sebuah hakikat yang menjadi tiang pegangan.

Seperti kata Jean Paul Sartre, eksistensi mendahului esensi. Artinya, untuk dapat bermakna, sesuatu haruslah terlebih dahulu ada. Meski hal ini menurut Sartre tidak bisa dipertukarkan, namun bukan berarti arahnya tidak bisa berkebalikan. Jika eksistensi hadir sebelum esensi, maka hilangnya esensi pastilah mendahului hilangnya eksistensi. Artinya, apabila sesuatu sudah tidak bermakna, maka sesuatu itu haruslah menjadi tiada. Esensi pernikahan yang diraih dengan susah payah melalui pemaknaan, pada suatu waktu, akan menemukan titik ujungnya, yakni keinginan untuk bercerai. Perceraian adalah penolakan terhadap eksistensi pernikahan yang berawal dari hilangnya esensi. Dan patut disayangkan, terkikisnya esensi pernikahan seringkali didukung dengan pemaknaan terhadap eksistensi diri yang arahnya berlawanan. Aku bercerai, maka aku ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun